Kamis, 11 Oktober 2012

Menunggu(mu)...


"Aku tahu, jodohku tidak akan tertukar, akan datang di saat yang tepat, sesuai dengan iman di hati, karenanya aku tenang." Ya, awalnya aku memang tenang, namun seiring berjalannya waktu, lingkungan sekitar mulai menularkan rasa gelisah padaku.

Entahlah, mengapa semuanya tiba-tiba kompak, mulai dari yang hanya iseng mencecarku dengan "Kapan lagi?" hingga berbaik hati menawarkan teman, tetangga atau sanak famili.

Mulai dari teman kerja, mereka masing-masing menawarkan seorang calon padaku. "Si Fulan itu rajin sholat, udah punya usaha Ponsel sendiri, 'gak pernah dekat sama cewek, nanti lah Abang kenalkan kau samanya ya" kata seorang temanku dan aku tidak tahu harus menjawab apa selain dengan tersenyum, lebih tepatnya meringis.

"Eh, ada nasabahku ibu Fulanah, anaknya ada yang dokter lagi nyari istri, orangnya berjubah-jubah gitu, orang Jawa. Nanti ikut ya silaturahim kita ke rumah ibu itu, rasaku cocok lah nanti kalian tu" tawaran temanku yang lain, lagi-lagi hanya bisa kubalas dengan senyum dan menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

Tidak cukup dengan menawarkan calon dari mereka sendiri, tanpa pernah dikomando, beberapa teman kerjaku juga meminta bantuan dari nasabah yang datang, mulai dari ustadz sampai pengusaha kakap untuk mencarikanku jodoh. Pernah suatu malam setelah melalui hari yang melelahkan, ada panggilan dari nomor tak dikenal, entah siapa namanya, beliau mengaku sebagai saudara ustadz Fulan, nasabah yang kukenal dekat. "Boleh kenalan?" katanya. Sebenarnya enggan, namun mengingat ustadz Fulan aku berusaha untuk diplomatis dan mengarahkan pembicaraan agar segera berakhir. Setelah ditutup, aku lupa siapa namanya tadi yang menelepon namun nomornya tetap kusimpan dengan nama X. Keesokan harinya aku lembur hingga malam saat nama si X muncul di ponselku yang berdering. "EGP" jawabku pada ponsel yang kubiarkan terus berdering. Sehari, dua hari, tiga hari, dan si X pun lenyap.

Pernah juga rekan kerja yang tinggal tidak jauh dari rumahku menawarkan seseorang "Dia guru PNS, orangnya ulet, selain ngajar dia punya usaha lagi, baik orangnya, sholatnya 'gak pernah tinggal, dia mau kenalan, boleh datang ya ke rumah?" dan karena sedang malas kujawab saja seenaknya "Iya? Yodah suruh dia ke rumah!!" jawabku ketus, sebenarnya aku hanya bercanda. Malamnya dengan baik hati rekan kerjaku itu mengantarkan si Fulan ke rumah. "Dek, ini ada temannya datang" panggil abangku. Teman?? Aku 'gak kenal tuh. Namun setelah dijelaskan bahwa beliau adalah orang yang dimaksud rekan kerjaku, aku terkejut dan bingung, "Lah, betulan ya??" kataku dalam hati. Dan akupun langsung meminta abang dan ibuku untuk menemaniku di ruang tamu. Setelah itu, beliau mengerti arti sikapku dan mundur tertatur.

Dan beberapa kejadian lainnya. Dari sekian kasus, maka teman-teman menuduhku sebagai orang yang "pemilih". "Jadi orang yang gimana yang kau mau Dek? Kriterianya apa aja? Jangan terlalu pemilih dah.." dan lagi-lagi aku hanya diam, tidak tahu harus bagaimana menjawabnya. 

Sebenarnya, aku sama sekali bukan "pemilih" seperti yang mereka anggap. Kriteriaku juga hanya satu, tidak macam-macam. Sayangnya yang mereka tawarkan itu tidak ada yang memenuhi kriteria tersebut. Dan pernah ada tekad dalam diri, jika suatu hari nanti ada yang datang dan memenuhi satu kriteria itu, aku tidak akan menolak.

Bukan materi, bukan status sosial, bukan pangkat, bukan gelar, bukan ningrat atau tidak keluarganya. Bukan!! 

Aku adalah satu di antara sekian ratus ribu yang sedang menunggu. Terkadang kami mencoba realistis dan menyiapkan kemungkinan terburuk jika "mereka" yang kami tunggu tidak kunjung hadir, dengan berat hati bersiap untuk menerima kehadiran orang lain, walaupun terkadang memilih orang lain ini beresiko terhadap masa depan kami. Ya, karena perempuan tidak sama dengan laki-laki. Perempuan sholihah dimanapun wajib untuk patuh terhadap suaminya kelak bukan? 

Mereka yang kami tunggu mungkin tidak pernah tahu, sudah berapa orang di luar sana yang menawarkan "niat suci" itu pada kami. Mereka tentu saja bukan orang yang asal, mereka yang berani pada kami adalah mereka yang berakhlak baik dengan kesholihan yang baik pula. Kadang kala mendekati sempurna dengan kemapanan materi juga latar belakang keluarga yang berada. Namun sekali lagi, kami mencoba untuk bersabar, mungkin sebentar lagi, tidak akan lama lagi mereka yang kami tunggu akan datang. Dan mungkin mereka yang kami tunggu tidak pernah tahu bagaimana perasaan bersalah kami ketika mengatakan "Maaf" kepada orang baik-baik yang datang melamar.

Terkadang aku heran, apa yang menghalangi mereka sehingga kami harus menunggu lama. Padahal yang aku tahu, perempuan seperti kami bukanlah perempuan manja yang harus hidup mewah dan serba ada. Kami bukan tipe perempuan yang suka menuntut dan mendikte, kami sudah dipersiapkan sejak awal untuk taat pada mereka apapun kondisinya selama tidak menyalahi Allah dan Rasul-Nya. Kami juga sadar Superman hanya ada di film, kami tidak mengharap mereka sempurna. Kami hanya mengharapkan agar mereka bisa menjadi sahabat bagi kami untuk saling memperbaiki dan saling menguatkan untuk tetap istiqomah dalam mencapai tujuan akhir kami : ridho dan jannah-Nya. Tidak muluk-muluk bukan?

Lantas apa ya yang memberatkan? Mahar? Aku yakin perempuan sepertiku ingin menjadi sebaik-baik wanita dengan meminta mahar yang tidak memberatkan. Hantaran, seserahan, peningset atau apalah itu namanya, kami paham itu tidak ada dalam syariat. Dan jika itu yang memberatkan, sebagai putri di keluarga kami punya kemampuan lobi dan diplomasi yang bisa diandalkan untuk meringankan bahkan meniadakan  itu semua. "Belum punya apa-apa". Sekali lagi kami tidak menuntut harta, kami bukan perempuan cengeng yang suka mengeluh, kami insya Allah akan selalu mensyukuri mereka, setia menerima dan mendampingi apapun kondisinya.

Lantas, apa ya? Mungkin mereka tidak pernah paham betapa tidak sampai hati dan bagaimana rasanya terus-terusan berkata "tidak" dan "maaf". Atau, haruskah kami berlapang dada, mulai mempertimbangkan untuk membuka kesempatan bagi yang lainnya?

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anh, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Tiga orang yang akan selalu diberi pertolongan oleh Allah adalah seorang mujahid yang selalu memperjuangkan agama Allah Subhanahu wa Ta’ala, seorang penulis yang selalu memberi penawar, dan seorang yang menikah untuk menjaga kehormatannya.” (HR. Thabrani)

Dalam hadits lain dalam derajat shahih, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Tiga golongan orang yang pasti mendapat pertolongan Allah, yaitu budak mukatab yang bermaksud untuk melunasi perjanjiannya, orang yang menikah dengan maksud memelihara kehormatannya, dan orang yang berjihad di jalan Allah.” (HR Turmudzi, An Nasa’i, Al Hakim dan Daruquthni).
Inuyasha