Langkah pulangku terhalang hujan. Aku berdiri
di depan sekat kaca sebuah apotek, sedikit bersandar padanya sambil menggenggam
payung ungu yang masih kuncup. Beberapa orang di gedung sebelah yang bernasib
sama menoleh padaku, seolah berkata "Kenapa tidak masuk saja? Di dalam kan
masih ada cukup ruang, biar 'gak basah?" Aku acuh tak acuh pada mereka,
mengalihkan pandanganku lurus ke depan, menatap hujan.
Hujan semakin deras sekali. Seperti ada yang menumpahkan jutaan liter air
dari langit. Aku masih berdiri di depan sekat kaca sebuah apotek, mematung.
Angin nakal memperhatikanku, memutar arah datang hujan tepat dari depan,
membuat tempiasnya mengenai wajahku. Brrrr... Namun aku tetap tak bergeming, tak
bergerak dari tempatku.Secara fisik aku memang berada di depan apotek Kimia Farma, namun pikiranku melayang ke tempat lain : rumahku, setengah jam yang lalu.
"Pokoknya kalo nanti Maya dan Wulan datang, Mamak gak izinin kamu pigi sebelum makan!!" aku melongo saja melihat ibuku yang kesal padaku, pasalnya sejak buka puasa petang kemarin hingga siang tadi aku belum menyentuh nasi sebutir pun, hanya rujak yang kusantap dengan beberapa bakwan pada saat maghrib kemarin dan susu segelas penuh tadi pagi. Habis aku tidak tertarik, aku tidak lapar, lebih tepatnya tidak ada selera dan dorongan untuk makan sehingga tidak memicu lapar. Namun kekesalan ibu padaku sepertinya sudah memuncak, sehingga keluar ancaman pamungkasnya. Aku tidak ingin memperpanjang masalah. Dengan malas aku ngeloyor ke meja makan, mengambil sepiring nasi beserta pelengkapnya. "Nasi, haruskah aku memakanmu?" tanyaku dalam hati.
Setelah sukses makan siang, aku bersiap menggelar lapak untuk menyetrika pakaian ibu dan abangku yang kian menggunung. "Iya, jangan kemana-manalah hari ini, nyiapin setrikaan dulu" perintah ibuku. "Injeh, sendiko dawuh 'ndoro..." jawabku iseng menggoda ibu. Ibuku memang selalu suka kalau aku di rumah. Apalagi setelah 2 minggu kutinggal ke Medan. Dan sebenarnya kalau mau jujur ibu kurang suka dan cemburu kalau aku keluar rumah. Tiba-tiba aku menerima SMS dari salah seorang sahabatku, "Kami kesana ya...." katanya. Dan senyum pun hinggap di wajahku.
Aku beruntung mempunyai sahabat yang menjagaku seperti mereka berdua. Yang satunya kalem, rapi dan penyabar, yang satunya cekatan, 'gak sabaran, he he ^.^x. Aku tidak bisa menyembunyikan sesuatu dari mereka. Mereka selalu tahu jika ada yang tidak beres denganku. Pernah suatu ketika aku mengalami kegundahan selama 6 bulan. Tidak ada yang menyadarinya selain mereka, aku tidak berkutik saat mereka menjebakku dengan semangkuk bakso dan menyuruhku kembali ke jalur yang benar. Untuk itu aku sangat berterima kasih pada mereka yang selalu mengawasi dan mendampingiku di masa-masa sulit.
Kehadiran mereka berdua ke rumahku selalu dimaknai dengan "penculikan" oleh keluargaku. Sehingga kedatangan mereka hari ini langsung diantisipasi oleh ibuku, "Ayo... tadi udah janji kan...." ucapnya. "Iya Mak, gak mau kemana-mana koq..." jawabku.
Sambil menyetrika aku mendengarkan celotehan mereka. "Wih, yang podasan rujaknya" seru Wulan sambil mengunyah rujak yang sengaja dibeli kak Maya di dekat kantornya. Kami pun tertawa. Pembahasan kami beralih ke tulisan yang ku unggah dini hari tadi dengan judul Occlumency. "Sini coba kulihat matamu" seru Wulan yang kubalas dengan tatapan mataku yang melotot. Sementara teman kami yang satunya iseng mencelupkan roti Ganda bermeses ke dalam bumbu rujak, "Kaya gini makannya boleh kan woy..???" tanyanya meminta persetujuan. "Ada-ada saja lah kakak ini" seru Wulan sambil menggelengkan kepala. Dan kami pun tertawa lagi.
Setelah proyek setrikaan rampung, tanpa menyadari cuaca yang kian menghitam, ibu menyuruhku membeli obat di apotek. Aku sih senang-senang aja, apalagi kedua sahabatku itu menawarkan diri untuk menemaniku. "Horeee... jalan-jalan naik becak.. Lagi.. bersama trio jawa setelah seharian di rumah.." seruku dalam hati.
Bertiga kami menunggu angkutan favorit kami, berlindung dari rintik gerimis yang mulai jatuh di bawah cabang pohon seri di depan jalan. Saat rintik gerimis berubah menjadi titik hujan, belum ada satupun becak kosong yang menghampiri. Aku segera berlari ke rumah, mengambil payung ungu kenang-kenangan dari sebuah bank syariah tempatku dulu mencari nafkah. Ketika berbalik hujan semakin deras. Dan kami bertiga merapat untuk berlindung di bawah lindungan payung. Akhirnya kami mendapatkan becak kosong. Kusuruh mereka pulang karena sudah hujan, apalagi Wulan sedari tadi sudah mengkhawatirkan kakeknya yang sendiri di rumah. "Ayo... naik!!" seru Wulan. "Ayo... bisa ini bertiga... ada tempat duduknya di depan.." kak Maya menimpali. "Udah... pulang sana, aku sendiri aja.. Nanti kakekmu merepet.." jawabku. "Udaaaah... Ayoook!!!" Wulan memaksaku untuk naik. Sambil bertukar senyum satu sama lain, aku pun naik. Ya, kami selalu suka keliling kota dengan berbecak ria, bertiga.
Namun kini aku sendirian menunggu hujan. Menurut informasi, Apoteker yang ingin kutemui setengah jam lagi baru datang sehingga aku meminta kedua sahabatku untuk pulang duluan. Setelah hampir satu jam menunggu penjaga apotek berkata padaku "Kalau hujan deras gini biasanya kakak itu habis maghrib baru datang kak...". Aku menarik nafas panjang dan memutuskan untuk pulang dan kembali besok. Namun langkahku pulang masih terhalang hujan. Seorang dokter yang baru tiba berlari dengan membawa payung yang terbalik dibuat angin, jadi seperti parabola TV. Dengan terburu-buru ia berusaha memperbaiki posisi payungnya yang rusak, namun ia menyerah dan masuk ke dalam apotek, disambut dengan tawa oleh perawat dan penjaga apotek yang melihatnya. Aku pun tersenyum lucu melihatnya.
Sebenarnya ada ide muncul di kepalaku, "Udah lama gak mandi ujan, jalan aja ah...". Baru selangkah nyaliku ciut ketika kilat menyambar disertai suara gemuruh yang menggelegar, sontak membuatku berta'awuz dan mengurungkan niatku. Jadilah aku kembali ke tempatku semula. Hawa dingin mulai menjalari kakiku yang basah. Tapi mau gimana lagi, aku harus menunggu hujan mereda. Tiba-tiba aku teringat nasihat seseorang, jika hujan berdo'alah, karena saat hujan adalah termasuk waktu yang maqbul untuk berdo'a. Segera kupanjatkan macam-macam do'a dalam hatiku, teristimewa buat kedua sahabatku yang sudah menemaniku hari ini. Dan tentu do'a buatku sendiri. Sambil mengamati air yang mengalir, aku mendapatkan sebuah kesimpulan "Biarlah mengalir seperti air..." gumamku.
Setelah lebih dari setengah jam berdiri, otot kakiku mulai protes karena terlalu lama berkontraksi. Langit pun sepertinya belum puas menumpahkan hujan, tidak ada tanda-tanda hujan mereda. Maka kuputuskan untuk menerobos hujan, mencari becak yang kosong, pulang.
*Bonus Track : "Hujan Turun" Sheila on 7
waktu hujan turun
di sudut gelap hatiku
begitu derasnya
...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar