Selasa, 24 September 2013

Lady Rain

30 Agustus 2012

Mendung menggantung di langit Medan, agaknya hujan lebat akan turun seharian. Sampai dini hari berjaga, dugaanku salah. Sepertinya hari ini langit sedang galau, membuatku dan para peramal cuaca amatir lainnya bingung. Padahal kemarin hujan sesukanya turun saat hari cerah tanpa mengikuti prosedur protokolernya yang biasa - mendung - membuatku lari pontang-panting menyelamatkan jemuran.

Sejak kecil aku suka hujan. Duduk berdua bersama bapak di teras rumah, bercerita tentang impianku di masa depan, diiringi melodi hujan.

Lain waktu, pertengkaran hebat dengan sahabat membuat kepulanganku di saat hari kuliah mengundang tanya setiap orang di rumah. Kujawab dengan 'ngalem dan sekenanya : "Kangen mamak.." sambil melingkarkan tangan memeluk ibuku dari belakang. Siasatku berhasil pada ibu. Sorenya, hujan yg memang sengaja kutunggu pun hadir. Tetes-tetes air yang turun mewakili kesedihan yg begitu dalam namun sungkan untuk kuakui. Tanpa kusadari, bapak telah lama memperhatikan sebelum menyusulku mengamati aliran air hujan yang berebut keluar dari talang, hujan seakan mengajakku untuk turut mengalirkan cerita pada bapak. "Gak boleh gitu.. Cepat maafin dia & kamu juga harus minta maaf.." nasihatnya.

Saat hujan, aku suka menjulurkan telapak tanganku untuk mengumpulkan beningnya, membiarkan wajahku terkena tempiasnya, menyelipkan tasbih, keluh kesah dan do'a pada Rabbku di tetes-tetesnya. Jika bersama bapak, berdua kami menurunkan pot-pot bunga ibuku agar kenyang tersiram hujan. Lumayan, menghemat tagihan bulanan PDAM.

Kini bapak tidak bisa lagi menemaniku, namun hujan bisa. Tapi yang kutunggu sejak pagi tak kunjung tiba. Namun aku bersikeras menunggu, hingga menjelang subuh dan skor 2-1 untuk Madrid. Entahlah, cuaca memang sulit diprediksi. Persis seperti hati manusia.

Roda - Rodi


#PHLB, 31 Agustus 2012

Berkeliling mengitari kotaku yang sekarang, alhamdulillah semakin berkembang. Namun sepertinya ada yang aneh, kemana semua anak-anak?

Saat aku kecil, setiap ada lapangan atau tanah kosong selalu dipenuhi dengan suara berisik mereka. Bermain layangan, engklek, serimbang, guli, yeye dan berlusin permainan seru lainnya. Apa anak-anak sekarang sudah tidak suka main lagi ya?

Tidak jauh dariku, ada sebuah tempat yang di depannya berjubel sepeda motor terparkir. Tiba-tiba dua bocah laki-laki berpakaian putih merah keluar dari sana. Kucoba mengintai tempat itu dari jauh. Ternyata masih banyak bocah lainnya di dalam, membuatku mengeluarkan vokal "O" panjang. "Begitu ya.." simpulku dalam hati sambil membaca plang nama tempat itu : Master Game Online. Seketika pikiranku pun melayang ke 15 tahun yang lalu.

***

"Roda rodi..."
"Belum!!"
"Wii dah.. Yang lamaan klen. Udah ya, bawang putih bawang merah sapa kena jangan marah.."

Seorang anak perempuan membuka mata dan berbalik membelakangi dinding yang telah disepakati bersama teman-temannya sebagai markas jaga. Melepas pandang ke sekitar, ditujukan ke beberapa titik yang diduga menjadi tempat persembunyian teman-temannya. Ada satu yang mencurigakan, tanaman pagar yang berjarak 10 meter dari tempatnya terus bergerak, seperti ada yang sedang berkasak-kusuk di baliknya. Sejenak ia memeriksa kembali sekeliling, memastikan markas jaganya aman, dan ia pun melangkah dengan berjingkat menuju titik yang mencurigakan tersebut.

"Sssstt.. Sana sikit napa, nampak Kak Maya tanganku nanti.."

"Wih, enak kali kau, kan aku dulu yang disini. Kalo aku geser akulah yang nampak. Tak mau aku jaga.. Capek"

"Geser sikit aja pun.. Yang parahan"

"Eh, marepet pulak kau samaku. Kan aku luan disini. Kaulah sana sikit.."

Terdengar suara gaduh milik dua bocah yang sedang bersembunyi di balik pagar. Tentu saja sangat mudah dikenali, karena kedua bocah tersebut sudah menjadi teman Maya sejak lahir.

"Wulan! Novi!" teriak Maya sambil berlari kencang menuju markas jaganya. Kedua pemilik nama pun spontan melompat dan berlari menuju tempat yang sama, namun terlambat. Maya sudah duluan sampai, dengan senyum yang tertahan di sudut bibir, satu tangan di pinggang dan satunya lagi bersiap menepuk dinding.

"Wulan, Novi.. Roda! Roda!" teriaknya sambil menepuk dinding dua kali.

"Kan apa kubilang, gara-gara kau lah kita ketahuan" seru Wulan.

"Kaunya bandal. Kan kubilang geser sikit aja pun tak mau.. Kapok lah kau jaga" bantah Novi tidak mau kalah.

"Wih, enak aja.. Sut lah kita dulu." protes Wulan.

"Kan namamu dulu yang dibilangnya. Kau lah yang jaga.." bantah Novi lagi.

"Udah.. Biar adil sut aja lah klen. Biar gak ada yang merasa terimigrasi.. Eh, termodifikasi.." Maya mencoba menengahi kedua sahabatnya.

"Kakak lagi masamburetan udah cakapnya. Terdiskriminasi kan maksudnya?" Novi mencoba meluruskan kata-kata Maya, saat tiba-tiba segerombolan anak datang bergabung dengan mereka.

"Woy, maen Sambar Elang yok! Sapa mau ikut? Ompiyang dulu tapi..." seru bocah laki-laki yang masih berpakaian putih merah, sepertinya belum sempat mengganti bajunya sepulang sekolah.

"Ayoklah Nis.. Tapi batasnya lapangan ini aja ya, jangan lewat. Jangan ada yang cilat ya.. Kalo maen cilat besok-besok tak usah diajak lagi." seru Tian, anak laki-laki yang paling jangkung di antara mereka.

"Tapi bentar aja ya, sampe jam 3 aja ya woy. Kena marah lagi kita nanti, semalam gara-gara maen Patok Lele terlambat kita sekolah Arab. Dilibas mamakku nanti aku.." seru Novi.

"Ya udah. Ayok.. Ompiyang.."
"Ompiyang.."
"Haha... si Anis jaga!" teriak Tian sambil mengarahkan telunjuknya ke bocah laki-laki yang masih berseragam putih merah tadi.

Sambil menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal Anis bersiap-siap mengambil tempat, melepaskan sandalnya sambil mengedarkan pandangnya mencari mangsa terdekat. Saat target yang dimaksud terbidik, ia langsung bersiap-siap berlari saat tiba-tiba tangan seseorang mendarat dan menjewer telinganya.

"Anis!! Koq belum ganti baju? Besok sekolah pake baju apa?? Pulang sana! Bentar lagi jam 3, sekolah Arab. Nanti Papa marah lagi..." seru seorang ibu yang tidak lain adalah ibunda Anis.

"I... iya Ma.. Duh.... iya Anis pulang" jawab Anis sambil meringis kesakitan.

"Wulaaaan.... Pulang!! Maen aja kerjanya, adiknya gak dijaga. Tengok ini, adiknya jatuh dari ayunan.." dari jauh nampak seorang kakek memanggil Wulan sambil mengernyitkan keningnya.

"Yaaah... pada disuruh pulang. Ya udah la woy, hari minggu pagi aja lah kita main ya.. Habis subuh kita maraton ke pemancar rame-rame. Udah sore, kita berangkat sekolah Arab bareng nanti ya.." Tian berusaha mengambil alih teman-temannya yang kecewa karena tidak jadi main.

"Iya...." jawab teman-temannya kompak sambil membubarkan barisan tanpa penghormatan.

***

"Kasihan anak-anak sekarang,ruang dan waktu bermain mereka semakin terbatas. Sangat meresahkan sebenarnya ketika mereka dibiarkan dan tidak didampingi dalam memilih alternatif bermain. Bisa-bisa mereka menjelma menjadi generasi berpaham individualistis apatis di masa depan. Hmm.." gumamku dalam hati.
Inuyasha