30 Agustus 2012
Mendung menggantung di langit Medan, agaknya hujan lebat akan turun seharian. Sampai dini hari berjaga, dugaanku salah. Sepertinya hari ini langit sedang galau, membuatku dan para peramal cuaca amatir lainnya bingung. Padahal kemarin hujan sesukanya turun saat hari cerah tanpa mengikuti prosedur protokolernya yang biasa - mendung - membuatku lari pontang-panting menyelamatkan jemuran.
Sejak kecil aku suka hujan. Duduk berdua bersama bapak di teras rumah, bercerita tentang impianku di masa depan, diiringi melodi hujan.
Lain waktu, pertengkaran hebat dengan sahabat membuat kepulanganku di saat hari kuliah mengundang tanya setiap orang di rumah. Kujawab dengan 'ngalem dan sekenanya : "Kangen mamak.." sambil melingkarkan tangan memeluk ibuku dari belakang. Siasatku berhasil pada ibu. Sorenya, hujan yg memang sengaja kutunggu pun hadir. Tetes-tetes air yang turun mewakili kesedihan yg begitu dalam namun sungkan untuk kuakui. Tanpa kusadari, bapak telah lama memperhatikan sebelum menyusulku mengamati aliran air hujan yang berebut keluar dari talang, hujan seakan mengajakku untuk turut mengalirkan cerita pada bapak. "Gak boleh gitu.. Cepat maafin dia & kamu juga harus minta maaf.." nasihatnya.
Saat hujan, aku suka menjulurkan telapak tanganku untuk mengumpulkan beningnya, membiarkan wajahku terkena tempiasnya, menyelipkan tasbih, keluh kesah dan do'a pada Rabbku di tetes-tetesnya. Jika bersama bapak, berdua kami menurunkan pot-pot bunga ibuku agar kenyang tersiram hujan. Lumayan, menghemat tagihan bulanan PDAM.
Kini bapak tidak bisa lagi menemaniku, namun hujan bisa. Tapi yang kutunggu sejak pagi tak kunjung tiba. Namun aku bersikeras menunggu, hingga menjelang subuh dan skor 2-1 untuk Madrid. Entahlah, cuaca memang sulit diprediksi. Persis seperti hati manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar