"Aku
tahu, jodohku tidak akan tertukar, akan datang di saat yang tepat, sesuai
dengan iman di hati, karenanya aku tenang." Ya, awalnya aku memang tenang,
namun seiring berjalannya waktu, lingkungan sekitar mulai menularkan rasa
gelisah padaku.
Entahlah,
mengapa semuanya tiba-tiba kompak, mulai dari yang hanya iseng mencecarku
dengan "Kapan lagi?" hingga berbaik hati menawarkan teman, tetangga
atau sanak famili.
Mulai
dari teman kerja, mereka masing-masing menawarkan seorang calon padaku.
"Si Fulan itu rajin sholat, udah punya usaha Ponsel sendiri, 'gak pernah
dekat sama cewek, nanti lah Abang kenalkan kau samanya ya" kata seorang
temanku dan aku tidak tahu harus menjawab apa selain dengan tersenyum, lebih
tepatnya meringis.
"Eh,
ada nasabahku ibu Fulanah, anaknya ada yang dokter lagi nyari istri, orangnya
berjubah-jubah gitu, orang Jawa. Nanti ikut ya silaturahim kita ke rumah ibu
itu, rasaku cocok lah nanti kalian tu" tawaran temanku yang lain,
lagi-lagi hanya bisa kubalas dengan senyum dan menggaruk kepalaku yang tidak
gatal.
Tidak
cukup dengan menawarkan calon dari mereka sendiri, tanpa pernah dikomando, beberapa
teman kerjaku juga meminta bantuan dari nasabah yang datang, mulai dari ustadz
sampai pengusaha kakap untuk mencarikanku jodoh. Pernah suatu malam setelah
melalui hari yang melelahkan, ada panggilan dari nomor tak dikenal, entah siapa
namanya, beliau mengaku sebagai saudara ustadz Fulan, nasabah yang kukenal
dekat. "Boleh kenalan?" katanya. Sebenarnya enggan, namun mengingat
ustadz Fulan aku berusaha untuk diplomatis dan mengarahkan pembicaraan agar segera
berakhir. Setelah ditutup, aku lupa siapa namanya tadi yang menelepon namun
nomornya tetap kusimpan dengan nama X. Keesokan harinya aku lembur hingga malam
saat nama si X muncul di ponselku yang berdering. "EGP" jawabku pada
ponsel yang kubiarkan terus berdering. Sehari, dua hari, tiga hari, dan si X
pun lenyap.
Pernah
juga rekan kerja yang tinggal tidak jauh dari rumahku menawarkan seseorang
"Dia guru PNS, orangnya ulet, selain ngajar dia punya usaha lagi, baik
orangnya, sholatnya 'gak pernah tinggal, dia mau kenalan, boleh datang ya ke
rumah?" dan karena sedang malas kujawab saja seenaknya "Iya? Yodah
suruh dia ke rumah!!" jawabku ketus, sebenarnya aku hanya bercanda. Malamnya
dengan baik hati rekan kerjaku itu mengantarkan si Fulan ke rumah. "Dek,
ini ada temannya datang" panggil abangku. Teman?? Aku 'gak kenal tuh.
Namun setelah dijelaskan bahwa beliau adalah orang yang dimaksud rekan kerjaku,
aku terkejut dan bingung, "Lah, betulan ya??" kataku dalam hati. Dan
akupun langsung meminta abang dan ibuku untuk menemaniku di ruang tamu. Setelah
itu, beliau mengerti arti sikapku dan mundur tertatur.
Dan
beberapa kejadian lainnya. Dari sekian kasus, maka teman-teman menuduhku
sebagai orang yang "pemilih". "Jadi orang yang gimana yang kau
mau Dek? Kriterianya apa aja? Jangan terlalu pemilih dah.." dan lagi-lagi
aku hanya diam, tidak tahu harus bagaimana menjawabnya.
Sebenarnya,
aku sama sekali bukan "pemilih" seperti yang mereka anggap.
Kriteriaku juga hanya satu, tidak macam-macam. Sayangnya yang mereka tawarkan itu
tidak ada yang memenuhi kriteria tersebut. Dan pernah ada tekad dalam diri,
jika suatu hari nanti ada yang datang dan memenuhi satu kriteria itu, aku tidak
akan menolak.
Bukan
materi, bukan status sosial, bukan pangkat, bukan gelar, bukan ningrat atau tidak
keluarganya. Bukan!!
Aku
adalah satu di antara sekian ratus ribu yang sedang menunggu. Terkadang kami
mencoba realistis dan menyiapkan kemungkinan terburuk jika "mereka"
yang kami tunggu tidak kunjung hadir, dengan berat hati bersiap untuk menerima
kehadiran orang lain, walaupun terkadang memilih orang lain ini beresiko
terhadap masa depan kami. Ya, karena perempuan tidak sama dengan laki-laki.
Perempuan sholihah dimanapun wajib untuk patuh terhadap suaminya kelak bukan?
Mereka
yang kami tunggu mungkin tidak pernah tahu, sudah berapa orang di luar sana
yang menawarkan "niat suci" itu pada kami. Mereka tentu saja bukan
orang yang asal, mereka yang berani pada kami adalah mereka yang berakhlak baik
dengan kesholihan yang baik pula. Kadang kala mendekati sempurna dengan
kemapanan materi juga latar belakang keluarga yang berada. Namun sekali lagi,
kami mencoba untuk bersabar, mungkin sebentar lagi, tidak akan lama lagi mereka
yang kami tunggu akan datang. Dan mungkin mereka yang kami tunggu tidak pernah
tahu bagaimana perasaan bersalah kami ketika mengatakan "Maaf" kepada
orang baik-baik yang datang melamar.
Terkadang
aku heran, apa yang menghalangi mereka sehingga kami harus menunggu lama.
Padahal yang aku tahu, perempuan seperti kami bukanlah perempuan manja yang
harus hidup mewah dan serba ada. Kami bukan tipe perempuan yang suka menuntut
dan mendikte, kami sudah dipersiapkan sejak awal untuk taat pada mereka apapun
kondisinya selama tidak menyalahi Allah dan Rasul-Nya. Kami juga sadar Superman
hanya ada di film, kami tidak mengharap mereka sempurna. Kami hanya
mengharapkan agar mereka bisa menjadi sahabat bagi kami untuk saling
memperbaiki dan saling menguatkan untuk tetap istiqomah dalam mencapai tujuan
akhir kami : ridho dan jannah-Nya. Tidak muluk-muluk bukan?
Lantas
apa ya yang memberatkan? Mahar? Aku yakin perempuan sepertiku ingin menjadi
sebaik-baik wanita dengan meminta mahar yang tidak memberatkan. Hantaran,
seserahan, peningset atau apalah itu namanya, kami paham itu tidak ada dalam
syariat. Dan jika itu yang memberatkan, sebagai putri di keluarga kami punya
kemampuan lobi dan diplomasi yang bisa diandalkan untuk meringankan bahkan
meniadakan itu semua. "Belum punya
apa-apa". Sekali lagi kami tidak menuntut harta, kami bukan perempuan
cengeng yang suka mengeluh, kami insya Allah akan selalu mensyukuri mereka, setia
menerima dan mendampingi apapun kondisinya.
Lantas,
apa ya? Mungkin mereka tidak pernah paham betapa tidak sampai hati dan bagaimana rasanya terus-terusan berkata "tidak" dan "maaf". Atau, haruskah kami berlapang dada, mulai mempertimbangkan untuk membuka
kesempatan bagi yang lainnya?
Dari
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anh, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda, “Tiga orang yang akan selalu diberi pertolongan oleh Allah adalah
seorang mujahid yang selalu memperjuangkan agama Allah Subhanahu wa Ta’ala,
seorang penulis yang selalu memberi penawar, dan seorang yang menikah untuk
menjaga kehormatannya.” (HR.
Thabrani)
Dalam
hadits lain dalam derajat shahih, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
“Tiga
golongan orang yang pasti mendapat pertolongan Allah, yaitu budak mukatab yang
bermaksud untuk melunasi perjanjiannya, orang yang menikah dengan maksud
memelihara kehormatannya, dan orang yang berjihad di jalan Allah.” (HR Turmudzi, An Nasa’i, Al Hakim
dan Daruquthni).