Lagi-lagi kau bertanya padaku, apa yang membuatku jatuh
cinta padamu. Dan aku jawab dengan diam sambil tertegun menatapmu.
***
Sejak hari itu aku terikat denganmu. Sebuah ikatan magis
yang aneh dan tidak bisa dijelaskan dengan logika manusia. Dengan didahului
oleh berbagai pertimbangan dan kesadaran, aku pun setuju untuk memindahkan
letak syurga yang semula ada di bawah kaki ibuku, menjadi di bawah kakimu.
Sejak pertama kali aku mencium tanganmu yang basah oleh keringat pada waktu
itu, sejak hari dimana aku meletakkan tanganmu pada ubun-ubunku dan memintamu
mendo'akanku atasnya, sejak hari pertama kali engkau menjadi imam sholatku, aku
pun bersiap untuk menjadikanmu satu-satunya lelaki yang ada dalam hatiku. Aku juga
telah bertekad untuk mengikuti dan membersamaimu sejak hari itu hingga ke
penghujung waktu. Aku pun telah bersedia menerima masa lalumu, kelebihanmu,
kekuranganmu, dan segalanya tentangmu.
Mulanya aku juga bingung, bagaimana cara mencintaimu. Hingga
aku memohon bantuan kepada Rabb-ku untuk menunjukkan caranya.
Aku ingat betapa kikuknya diriku saat pertama kali berada di
belakangmu, dengan sepeda motor kita membawa misi pertama mengantarkan makan
malam untuk mertuaku alias orang tuamu, orang tua kita. Kau menyuruhku untuk
berpegangan, namun aku sungguh masih malu dan canggung saat itu, lalu kau
menarik tanganku dan melingkarkannya di pinggangmu. "Duh.. semoga tidak ada yang melihat...",
seruku dalam hati sambil menyembunyikan wajah di belakang badanmu.
Saat aku diboyong untuk diperkenalkan ke keluarga besarmu,
aku sungguh khawatir akan kesulitan beradaptasi. Namun kau selalu ada di
sampingku, tidak pernah meninggalkanku, bahkan untuk ke kamar mandi pun engkau
selalu setia mengantar dan menungguku di depan pintu. Aku pikir hal seperti itu
hanya ada di awal-awal masa pengantin kita, ternyata aku salah. Sampai sekarang
pun masih begitu. Saat menumpang wudhu di rumah orang, atau saat aku berwudhu
di kamar mandi masjid, aku selalu mendapatimu menungguku di depan pintunya.
Kulewati hari-hari yang berbeda kini, semuanya selalu
bersamamu. Suatu pagi di hari minggu pekan pertama masa pengantin kita, dengan
bersusah payah kau mengajakku untuk berolah raga, jalan kaki. Layaknya
pengantin baru, tangan kirimu menggenggam tangan kananku erat. Aku kira yang
seperti itu hanya akan berlaku untuk bulan-bulan pertama, ternyata aku salah.
Hingga sekarang kau selalu mendahulukan keamananku, tidak pernah membiarkanku
berjalan di sebelah kananmu.
Aku ingat saat bepergian pertama kali dengan kereta api, kau
menawarkan bahumu untuk menjadi sandaran tidurku, menjadikan badanmu sebagai
penghangat dan melindungiku dari dinginnya udara kabin yang ber-AC. Sejak itu
aku tahu bahwa bahumu adalah tempat yang paling nyaman bagiku untuk bersandar.
Saat kondisi dan suhu tubuhku tidak seperti biasa, kau
begitu peka menyadarinya. Sebenarnya aku merasa bersalah sudah membuat waktu
istirahatmu terganggu. Dan dari berbagai gejala yang kutunjukkan, kau pun
mencurigaiku hamil. Untuk memastikannya kau memintaku untuk membeli alat tes
kehamilan dan segera mengantarkanku ke apotek. Saat keesokan subuhnya, aku
membawa alat tes itu dan menunjukkan hasilnya yang bergaris dua kepadamu. Kau
pun tersenyum dan berkomentar, "Apa Mas bilang, bener kan hamil.
Alhamdulillah ya, kita tidak perlu menunggu lama."
Pada suatu hari di minggu pertama kehamilan, aku seorang
diri di rumah saat badanku panas dan batuk berdahak membuat nafasku sesak.
Sebenarnya aku ingin memintamu pulang, tapi di sisi lain aku tidak ingin
mengganggu pekerjaanmu. Entah mengapa rasa ingin segera bertemu denganmu
membuat air mataku meleleh. Jadilah aku melampiaskan rasa sakit dan tidak
nyaman, semuanya itu dengan menangis seorang diri. Hingga saat kau pulang, dan tanganmu
menyentuh keningku, rasa sakit itu hilang entah kemana. Kau menawariku untuk
minum bermacam-macam obat. Dalam hati aku berkata, "Aku tidak butuh obat,
aku butuh kamu Mas."
Tanpa kusadari, setiap harinya kau telah menyemaikan benih
cinta dalam hatiku. Kian hari rasa itu kian tumbuh subur dan mengakar. Walaupun
kau tidak seromantis dan semahir Andre OVJ saat menggombalku, aku sungguh
bersyukur atas segala cinta dan kasih sayangmu yang kian besar kurasakan.
Namun
saat kau diminta pulang kampung untuk membantu Bapak menanam benih sawit, dan kondisi
badanku yang kurang fit tidak mengizinkanku untuk ikut pulang bersamamu, sejak
paginya aku telah menahan rasa sedihku. Jika boleh aku berkata, aku tidak ingin
berpisah sedetik pun darimu. Tapi aku tidak boleh egois, bukan? Selain punya
kewajiban terhadapku, kau juga masih berkewajiban untuk tetap berbakti kepada
orang tua.
Sebelum pergi kau memakaikan sebuah jam tangan hitam di
tanganku, jam tangan yang cantik.
"Jam siapa ini, Mas?" tanyaku.
"Gak tau, koq ada di tas Mas. Udah lah untuk adek
aja." jawabnya.
"Ah, gak mau lah. Kan gak tau ini punya siapa..."
protesku padanya sambil melepaskan jam itu dan mengembalikan padanya.
"He he.. Gak koq, itu jam tangan adek. Mas yang beli.
Udah lama sih belinya, tapi nunggu momen yang tepat, tapi gak ketemu-ketemu
momennya. Ya udahlah, sekarang aja ngasinya..." jawabnya sambil
memasangkannya kembali di pergelangan tanganku. Aku bingung, harus bilang apa.
Seharusnya setelah diberi sesuatu seyogyanya kita mengucapkan terima kasih,
bukan? Namun secara spontan aku memeluknya lama dalam diam, sebenarnya
menyembunyikan rasa sedihku karena sebentar lagi akan ditinggal untuk beberapa
hari.
Saat kau pamit, dengan sekuat tenaga aku menahan air mata
agar tidak jatuh di depanmu. Karena aku malu, pasti kau akan mengejekku dengan
sebutan cengeng. Maka setelah kau pergi, air mata itu kian meluber, merembes ke
pelupuk mataku. Segera kuhapus, karena aku malu jika terlihat oleh mamak. Aku
pun bergegas masuk ke kamar.
Terserah jika kau mengejekku cengeng atau apapun itu.
Begitulah kenyataannya, entah kenapa aku merasa tidak kuat berpisah denganmu.
Semua yang kulihat di sekelilingku ada bayangmu. Saat sholat, air mata kian
deras menerobos kelopak mataku, aku menyesali segala ketidaksempurnaanku selama
menjadi istrimu. Iseng aku keluar kamar ikut menonton OVJ, acara yang biasa
kita tonton bersama, bukannya tertawa mendengar lelucon mereka, tapi mataku
malah berkaca-kaca karena terbayang tawamu. Aku memutuskan untuk kembali ke
kamar. Sekuat tenaga aku menahan perasaan yang kian bergejolak dalam hatiku.
Saat kau menelepon, aku berusaha menahan kerinduanku yang kian menyesak di dada
dan berbicara seperti biasa. Namun lama kelamaan rasa itu kian tak terbendung,
dan air pun kembali menggenangi mata, menetes di pipiku.
Kau disana mungkin
heran dengan reaksiku, namun sejujurnya aku juga bingung, ada apa dengan
diriku. Aku menebak jawabannya, karena kau telah mengikat hatiku dengan ikatan
magis : ikatan cinta dan pernikahan karena Allah.
Dan jika kau masih bertanya padaku, apa yang membuatku jatuh
cinta padamu, masih perlukah aku menjawabnya?