Selasa, 07 Mei 2013

Ikatan Magis


Lagi-lagi kau bertanya padaku, apa yang membuatku jatuh cinta padamu. Dan aku jawab dengan diam sambil tertegun menatapmu.

***

Sejak hari itu aku terikat denganmu. Sebuah ikatan magis yang aneh dan tidak bisa dijelaskan dengan logika manusia. Dengan didahului oleh berbagai pertimbangan dan kesadaran, aku pun setuju untuk memindahkan letak syurga yang semula ada di bawah kaki ibuku, menjadi di bawah kakimu. 

Sejak pertama kali aku mencium tanganmu yang basah oleh keringat pada waktu itu, sejak hari dimana aku meletakkan tanganmu pada ubun-ubunku dan memintamu mendo'akanku atasnya, sejak hari pertama kali engkau menjadi imam sholatku, aku pun bersiap untuk menjadikanmu satu-satunya lelaki yang ada dalam hatiku. Aku juga telah bertekad untuk mengikuti dan membersamaimu sejak hari itu hingga ke penghujung waktu. Aku pun telah bersedia menerima masa lalumu, kelebihanmu, kekuranganmu, dan segalanya tentangmu.

Mulanya aku juga bingung, bagaimana cara mencintaimu. Hingga aku memohon bantuan kepada Rabb-ku untuk menunjukkan caranya.

Aku ingat betapa kikuknya diriku saat pertama kali berada di belakangmu, dengan sepeda motor kita membawa misi pertama mengantarkan makan malam untuk mertuaku alias orang tuamu, orang tua kita. Kau menyuruhku untuk berpegangan, namun aku sungguh masih malu dan canggung saat itu, lalu kau menarik tanganku dan melingkarkannya di pinggangmu. "Duh..  semoga tidak ada yang melihat...", seruku dalam hati sambil menyembunyikan wajah di belakang badanmu.

Saat aku diboyong untuk diperkenalkan ke keluarga besarmu, aku sungguh khawatir akan kesulitan beradaptasi. Namun kau selalu ada di sampingku, tidak pernah meninggalkanku, bahkan untuk ke kamar mandi pun engkau selalu setia mengantar dan menungguku di depan pintu. Aku pikir hal seperti itu hanya ada di awal-awal masa pengantin kita, ternyata aku salah. Sampai sekarang pun masih begitu. Saat menumpang wudhu di rumah orang, atau saat aku berwudhu di kamar mandi masjid, aku selalu mendapatimu menungguku di depan pintunya.

Kulewati hari-hari yang berbeda kini, semuanya selalu bersamamu. Suatu pagi di hari minggu pekan pertama masa pengantin kita, dengan bersusah payah kau mengajakku untuk berolah raga, jalan kaki. Layaknya pengantin baru, tangan kirimu menggenggam tangan kananku erat. Aku kira yang seperti itu hanya akan berlaku untuk bulan-bulan pertama, ternyata aku salah. Hingga sekarang kau selalu mendahulukan keamananku, tidak pernah membiarkanku berjalan di sebelah kananmu.

Aku ingat saat bepergian pertama kali dengan kereta api, kau menawarkan bahumu untuk menjadi sandaran tidurku, menjadikan badanmu sebagai penghangat dan melindungiku dari dinginnya udara kabin yang ber-AC. Sejak itu aku tahu bahwa bahumu adalah tempat yang paling nyaman bagiku untuk bersandar.

Saat kondisi dan suhu tubuhku tidak seperti biasa, kau begitu peka menyadarinya. Sebenarnya aku merasa bersalah sudah membuat waktu istirahatmu terganggu. Dan dari berbagai gejala yang kutunjukkan, kau pun mencurigaiku hamil. Untuk memastikannya kau memintaku untuk membeli alat tes kehamilan dan segera mengantarkanku ke apotek. Saat keesokan subuhnya, aku membawa alat tes itu dan menunjukkan hasilnya yang bergaris dua kepadamu. Kau pun tersenyum dan berkomentar, "Apa Mas bilang, bener kan hamil. Alhamdulillah ya, kita tidak perlu menunggu lama."

Pada suatu hari di minggu pertama kehamilan, aku seorang diri di rumah saat badanku panas dan batuk berdahak membuat nafasku sesak. Sebenarnya aku ingin memintamu pulang, tapi di sisi lain aku tidak ingin mengganggu pekerjaanmu. Entah mengapa rasa ingin segera bertemu denganmu membuat air mataku meleleh. Jadilah aku melampiaskan rasa sakit dan tidak nyaman, semuanya itu dengan menangis seorang diri. Hingga saat kau pulang, dan tanganmu menyentuh keningku, rasa sakit itu hilang entah kemana. Kau menawariku untuk minum bermacam-macam obat. Dalam hati aku berkata, "Aku tidak butuh obat, aku butuh kamu Mas."

Tanpa kusadari, setiap harinya kau telah menyemaikan benih cinta dalam hatiku. Kian hari rasa itu kian tumbuh subur dan mengakar. Walaupun kau tidak seromantis dan semahir Andre OVJ saat menggombalku, aku sungguh bersyukur atas segala cinta dan kasih sayangmu yang kian besar kurasakan. 

Namun saat kau diminta pulang kampung untuk membantu Bapak menanam benih sawit, dan kondisi badanku yang kurang fit tidak mengizinkanku untuk ikut pulang bersamamu, sejak paginya aku telah menahan rasa sedihku. Jika boleh aku berkata, aku tidak ingin berpisah sedetik pun darimu. Tapi aku tidak boleh egois, bukan? Selain punya kewajiban terhadapku, kau juga masih berkewajiban untuk tetap berbakti kepada orang tua. 

Sebelum pergi kau memakaikan sebuah jam tangan hitam di tanganku, jam tangan yang cantik.

"Jam siapa ini, Mas?" tanyaku.

"Gak tau, koq ada di tas Mas. Udah lah untuk adek aja." jawabnya.

"Ah, gak mau lah. Kan gak tau ini punya siapa..." protesku padanya sambil melepaskan jam itu dan mengembalikan padanya.

"He he.. Gak koq, itu jam tangan adek. Mas yang beli. Udah lama sih belinya, tapi nunggu momen yang tepat, tapi gak ketemu-ketemu momennya. Ya udahlah, sekarang aja ngasinya..." jawabnya sambil memasangkannya kembali di pergelangan tanganku. Aku bingung, harus bilang apa. Seharusnya setelah diberi sesuatu seyogyanya kita mengucapkan terima kasih, bukan? Namun secara spontan aku memeluknya lama dalam diam, sebenarnya menyembunyikan rasa sedihku karena sebentar lagi akan ditinggal untuk beberapa hari.

Saat kau pamit, dengan sekuat tenaga aku menahan air mata agar tidak jatuh di depanmu. Karena aku malu, pasti kau akan mengejekku dengan sebutan cengeng. Maka setelah kau pergi, air mata itu kian meluber, merembes ke pelupuk mataku. Segera kuhapus, karena aku malu jika terlihat oleh mamak. Aku pun bergegas masuk ke kamar.

Terserah jika kau mengejekku cengeng atau apapun itu. Begitulah kenyataannya, entah kenapa aku merasa tidak kuat berpisah denganmu. Semua yang kulihat di sekelilingku ada bayangmu. Saat sholat, air mata kian deras menerobos kelopak mataku, aku menyesali segala ketidaksempurnaanku selama menjadi istrimu. Iseng aku keluar kamar ikut menonton OVJ, acara yang biasa kita tonton bersama, bukannya tertawa mendengar lelucon mereka, tapi mataku malah berkaca-kaca karena terbayang tawamu. Aku memutuskan untuk kembali ke kamar. Sekuat tenaga aku menahan perasaan yang kian bergejolak dalam hatiku. Saat kau menelepon, aku berusaha menahan kerinduanku yang kian menyesak di dada dan berbicara seperti biasa. Namun lama kelamaan rasa itu kian tak terbendung, dan air pun kembali menggenangi mata, menetes di pipiku. 

Kau disana mungkin heran dengan reaksiku, namun sejujurnya aku juga bingung, ada apa dengan diriku. Aku menebak jawabannya, karena kau telah mengikat hatiku dengan ikatan magis : ikatan cinta dan pernikahan karena Allah.

Dan jika kau masih bertanya padaku, apa yang membuatku jatuh cinta padamu, masih perlukah aku menjawabnya?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Inuyasha