Senin, 06 Mei 2013

Jantung Kecil

Pohon kelapa dan pohon-pohon lainnya kompak mengibarkan pelepah dan dedaunannya malam itu, menyuarakan peringatan kepada manusia bahwa sebentar lagi akan turun hujan.

"Tapi sudah terlanjur mendaftar, Mas...", jawabku pada suamiku yang urung beranjak dari tempatnya dan ingin membatalkan rencana kami memeriksakan kandunganku malam itu, padahal ialah yang bersikeras mendaftarkanku ke klinik saat siang tadi. Aku bersikeras berangkat, tanpa mempedulikan kekhawatirannya akan cuaca yang mendung berat di luar sana. Akhirnya ia luluh, dan kami berangkat.

"Silakan menunggu sebentar ya Bu, dokternya lagi kuret, setelah itu makan malam. Duduk dulu ya Bu...", sambil berpandangan kami pun menghela nafas, dan aku langsung mengikuti suamiku yang beranjak keluar klinik.

"Kira-kira masih satu jam lagi, kita jalan-jalan dulu ya...", sebuah tawaran yang tidak pantas untuk ditolak, dan akupun langsung duduk dengan manis memboncengnya.

Baru berjalan lima menit saat tanpa aba-aba langit mencurahkan air hujan yang begitu deras, membuat kami kebingungan mencari tempat berteduh. Akhirnya suamiku berbelok ke sebuah bangunan berkanopi, bercat merah dengan logo banteng bermoncong putih. Aku pun turun dari tunggangan dan berputar melihat keadaan gedung, ketika tanpa disadari genangan air hujan menuju tempatku berdiri. "Dek, naik! Basah nanti kakinya." perintah suamiku. Aku terperanjat dan langsung naik ke atas tungganganku kembali. Sambil memperhatikan derasnya air, aku memanjatkan berbagai do'a kepada sang pemilik hujan.

Setelah setengah jam, hujan masih belum puas membasahi bumi. "Sudah agak mendingan, tinggal gerimis. Dek, pakai mantelnya ya!" seru suamiku sambil menyodorkan mantel hujan yang hanya cukup untuk satu orang itu padaku. Awalnya aku menolak, karena seharusnya ia yang memakai mantel itu. Biasanya suamiku rentan terhadap air hujan, aku khawatir ia terserang flu. Namun ia memaksa, memakaikan mantel itu padaku.

Sesampai di klinik, tanpa menunggu lama akhirnya namaku pun dipanggil oleh perawat yang bertugas. Kami bergegas masuk ke dalam ruangan. Setelah bertegur sapa dengan dokter, aku langsung diminta untuk menimbang berat badanku. 54 kg. "Nambah satu kilo pun jadi lah..." komentar dokter. Lalu perawat mengarahkanku untuk bersiap menjalani pemeriksaan USG. Ia mengoleskan sejenis jel ke perutku, lalu dokter mengarahkan sejenis alat optik dan mengobservasi kandunganku. Mata dokter lekat memandang monitor kecil di depannya, "Wah bayinya sudah kelihatan, ini jantungnya, kepalanya, punggungnya, tangannya, kakinya. Sudah lengkap ya Bu. Tiga bulan"

Kulihat jantung kecil itu berdegup, jantung anakku. Kulirik suamiku yang juga sedang serius memperhatikan gambar bergerak dalam monitor, ia pun melempar senyum padaku. Dari pandangannya kutangkap sebuah pesan, "Alhamdulillah, anak kita sehat". Masih kuingat jelas saat tadi siang suamiku berkata sambil mengusap perutku, "Ayah ingin melihat kamu, Nak. Sehat-sehat aja kan di dalam...". Sesaat kemudian dokter mencetak sejenis foto hitam putih. Memasukkannya ke amplop dan memberikannya pada kami.

Gerimis mulai mereda, tinggal satu dua titisan air yang masih bersikeras menjatuhkan diri dari langit. Kami pun pulang dengan senyum dan rasa lega. Dari belakang aku memeluk punggung suamiku erat, sebenarnya sebuah pesan nonverbal yang mengatakan bahwa aku semakin mencintainya.

"Anakku sayang, semoga Allah melindungimu, menyempurnakanmu, menjadikanmu anak yang sholeh/ah, menjadi inspirasi kebaikan kepada kami berdua dan orang-orang yang ada di sekitarmu kelak. Aaamin"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Inuyasha