Tama
dan Ica, memiliki hubungan yang cukup rumit. Bagi Tama, Ica adalah adik yang
tak disangka hadir dan sukses menggusur kedudukannya sebagai anak bungsu di
tengah keluarga mereka. Konon, awalnya Tama yang saat itu berusia tujuh tahun
sangat senang sekali mendapatkan seorang adik, sampai suatu ketika ia berubah pikiran
dan berkomentar, "Huh.. Ternyata gak
enak punya adik. Capek, bolak-balik disuruh ngambil popok..."
***
Tama
tumbuh dan menjelma menjadi sosok kakak yang gemar mengganggu kedamaian
adiknya. Pernah suatu ketika Ica sedang sendirian bermain BP di
ruang keluarga mereka. Ica asyik membangun kompleks perumahan yang berasal dari
berbagai barang rongsokan yang menurut
imajinasinya mirip dengan miniatur perabotan rumah. Sebagian besarnya berbahan
kertas. Namun tiba-tiba Tama seenaknya melewati dan memijak kompleks pemukiman
yang telah susah payah Ica bangun tersebut.
"Dung..
dung.. Raksasa lewaaaat...!!!" seru Tama sambil memperagakan gaya jalan
seorang raksasa. Kontan saja Ica berteriak sambil menangis, "Maaaaa... Mas
Tama jaahaaaaat!!!!"
Tidak
sekali dua kali Tama mengulangi kejahatannya tersebut. Kali lain ia sengaja
menghidupkan kipas angin dengan kencang dan mengarahkannya ke kompleks
pemukiman BP Ica, sambil menyeringai ia berkata, "Awaaaas... Ada angin
topaaaaan!!". Tentu saja aksinya tersebut sukses membuat adiknya marah.
"Maaaa... Mas Tamaaaaaa!!!" serunya sambil menangisi BPnya yang porak
poranda diterjang "angin topan".
***
Walau
sering menjadi korban keisengan Tama, Ica sangat suka mengikuti kakaknya.
Sebaliknya, Tama tidak suka diikuti adiknya. Kadang Ica meminta ikut saat Tama
mencari daun sintrong kesukaan para kelinci peliharaan mereka. Tanpa menggubris
permintaan adiknya, Tama sengaja mengayuh sepedanya kencang-kencang agar Ica
tidak bisa menyusulnya. Ica hanya bisa melihatnya dari jauh dengan mata yang
berkaca-kaca dan bibir manyun.
Lain
waktu Ica ingin mengikuti Tama yang menceburkan diri ke dalam parit besar di
depan rumah mereka, mencari cacing halus untuk pakan ikan laga kesayangan Tama.
Ica sudah bersiap menjulurkan kakinya saat Tama melarangnya, "Jangan turun
Dek, nanti jorok, nanti kamu dimarahin Mama. Lagian susah naiknya. Udah di atas
aja sana..." serunya pada Ica. Ica pun menurut, memandangi keasyikan kakaknya
memanen cacing bersama teman-temannya.
***
Suatu
hari Tama berbaik hati, ia mengabulkan permintaan adiknya untuk ikut bermain
bersamanya, itupun karena Tama sedang sendiri karena teman-teman sekomplotannya
tidak ada yang muncul pada hari itu. Ica yang baru belajar naik sepeda senang
bukan main, membawa tali plastik, mengikatkan tali tersebut pada sepeda Tama
dan sepedanya. Ica ingin kakaknya menarik sepedanya sehingga ia tidak harus
mengayuh sendiri. Namun Ica belum siap saat Tama melaju dengan kecepatan
maksimal, membuat Ica terjatuh dan terseret. Tama terkejut dan berhenti, ia
langsung menolong adiknya. Awalnya Ica terdiam, namun saat melihat dan
merasakan lutut dan lengannya berdarah, ia pun menangis. Tama membawa adiknya
masuk ke rumah dan diceramahi habis-habisan oleh Mama.
Setelah
tragedi naas tersebut, Ica masih belum kapok bermain sepeda dengan Tama. Suatu
hari Tama mengajak Ica untuk ikut bermain sepeda, namun kali ini Tama menyuruh Ica
duduk di stang sepedanya. Mungkin Tama merasa bersalah dan ingin menebusnya,
maka ia membawa adiknya itu berkeliling kompleks sambil bersama-sama menirukan
sebuah iklan yang dibintangi oleh Ria dan boneka Susan yang sedang populer pada
saat itu. "Si kuman kuman kaya' the beast.. Koq the beast?.." Ica pun
tertawa saat melihat gaya Tama berulangkali menirukan suara boneka Susan. Ica
yang mendapat bakat iseng dari kakaknya tersebut memindahkan pegangannya yang semula
pada pundak ke leher kakaknya, yang merupakan titik sensitif Tama.
"Tikitikitik......" seru Ica sambil menggelitiki leher Tama, yang
membuat Tama kehilangan keseimbangan dan mengakibatkan gaya grafitasi menarik
mereka berdua jatuh ke bumi. Ica tertimpa sepeda, dan berdarah lagi. Tama pun
membawa adiknya yang menangis ke rumah yang lagi-lagi menyulut kemarahan Mama.
"Lain kali gak boleh main sepeda lagi..!!!" bentak Mama pada Tama.
***
Tama
tidak mau lagi mengajak Ica bermain sepeda. Dan Ica pun kapok mengikuti kakaknya,
terlebih setelah Ica menyadari bahwa permainan Tama dan komplotannya berbahaya.
Pernah ia memperhatikan Tama dan teman-temannya bermain sepeda sambil membawa
ketapel, kemudian mereka berhenti dan mengarahkan ketapelnya ke arah pohon
sirsak yang ada di halaman belakang rumah mereka. Seperti dikejar setan,
tiba-tiba mereka mengayuh sepeda dengan kecepatan tinggi menjauh dari pohon
itu. "Gila... Mas Tama.. dasar anak nakal!!" seru Ica sambil
menggeleng-geleng melihat tingkah komplotan Tama tersebut, karena seingat Ica
di pohon itu ada sarang lebah. Mulai saat itu Ica berkesimpulan dan menganggap
Tama sebagai anak nakal.
Hingga
Tama duduk di bangku SMA, kesan itu masih kuat melekat . Terbukti dengan banyak
ditemukan kursi terbalik di rapotnya, kukunya panjang, rambut jigraknya yang
gondrong, sampai-sampai Mama pernah mendapat surat panggilan untuk datang ke
sekolah karena Tama enggan memangkas rambutnya.
***
Tama,
tidak seperti Johan dan Sisi, kakak pertama dan keduanya yang memang diharapkan
berhasil masuk dan kuliah di PTN. Memang, keluarganya tidak berharap banyak
ketika Tama memutuskan untuk mengikuti ujian masuk di salah satu Perguruan
Tinggi Negeri di kota. Namun nasib berbaik hati padanya, entah karena kebetulan
apa ia pun lulus ujian. Saat Tama pergi merantau ke ibukota, jadilah Ica anak
tunggal di rumah mereka.
***
Saat
kuliah, Sisi menitipkan Tama di kontrakan temannya yang merupakan aktivis
musholla di kampus. Sisi tahu bahwa adiknya tidak senakal itu, walaupun badung,
sebenarnya Tama masih berpotensi untuk menjadi baik jika ada yang bisa
mengarahkannya. Benar saja, Tama pun sedikit demi sedikit berubah setelah ia
secara rutin mengikuti halaqoh dan mentoring di kampusnya. Tama pun tidak lupa
akan adik bungsunya di kampung yang menginjak remaja, Ica. Tama tahu bahwa
adiknya suka membaca sejak kecil, maka setiap bulannya ia mengirimkan majalah
Annida, majalah remaja Islam yang sedang tren saat itu. Sesekali ia juga
membelikan novel dan kumpulan cerpen islami yang dianggap sesuai untuk adiknya.
Ica memang sudah "dipaksa" berjilbab oleh kakaknya Sisi sejak tahun
pertamanya di tsanawiyah. Namun Ica benar-benar menerima dengan ikhlas
jilbabnya setelah ia tersentuh dengan novel kiriman Tama yang berjudul Ketika
Mas Gagah Pergi tulisan Helvi Tiana Rosa.
***
Saat
liburan kuliah adalah saat-saat yang ditunggu Ica. Ketika Tama pulang, Ica takjub
melihat kakaknya yang sudah berubah. Tama si anak nakal mengajak dan memimpin
mereka sekeluarga untuk sholat berjama'ah, dengan surah-surah yang agak
panjang. Belakangan Ica tahu bahwa yang sering dibaca Tama adalah surah yang
ada di buku al-ma'tsurat kubro yang sering dibaca Tama setiap hari. Namun Ica
kurang beruntung, kegemaran Tama mengganggu kenyamanan adiknya tidak turut
berubah. Ketentraman di rumah mereka terusik pada suatu minggu.
Minggu
adalah hari besar yang selalu ditunggu Ica, selain karena libur sekolah, yang
paling penting adalah jadwal menonton film kartun favoritnya. Kebetulan siang
itu mereka sekeluarga akan berangkat mengunjungi saudara Mama. Sejak pagi Mama menyuruh
Ica bersiap-siap. Namun Ica yang konsentrasi penuh menonton tidak menggubris
perintah Mama yang berulang kali menyuruhnya mandi, sehingga membuat Tama
menggeleng-gelengkan kepala dan menarik paksa Ica ke kamar mandi, mengguyurnya
dengan beberapa gayung air, membuat Ica dan pakaiannya basah kuyup. Ica yang
meneladani sifat nakal dan keras kepala dari Tama tidak mau mengalah, ia keluar
dari kamar mandi dengan pakaiannya yang basah dan kembali melanjutkan
tontonannya yang terganggu. Saat Tama melihat adiknya yang basah kuyup melotot
di depan televisi, ia kembali mencengkram lengan Ica dan memasukkannya ke kamar
mandi sekali lagi, kali ini Tama menguncinya dari luar.
"Maaas...
buka pintunya... Itu si Inuyasha barusan dapet jurus pedang baru... Udah mau
habis koq bentar lagi...." rengek Ica, namun tidak mendapat balasan dari
Tama. Maka Ica pun terpaksa bergegas mandi.
"Mama...
tolong buka pintunya Ma.. " teriak Ica, saat ia mendengar suara Mama di
depan pintu.
"Koq
di kunci dari luar?" tanya Mama.
"Iya
itu, Mas Tama..." jawab Ica singkat sambil bersungut-sungut merutuki Tama
yang membuatnya ketinggalan episode penting dalam kartun favoritnya.
***
Ica
menginjak usia 16 tahun. Tama sudah selesai kuliah dan kembali ke rumah mereka.
Sisi dan Johan sudah menikah dan memisahkan diri membentuk koloni baru keluarga
kecil mereka. Karena baru selesai kuliah dan belum mendapatkan pekerjaan,
jadilah Tama diberi tugas oleh Papa untuk mengantar jemput Ica ke sekolah.
Setelah sekian lama tidak terdengar suara gaduh di rumah mereka, akhirnya
ketentraman itu pun pecah setiap pagi dan sore saat jam masuk dan pulang sekolah
Ica. Pasalnya Ica selalu berangkat sekolah di menit-menit "injury time",
yang mengharuskan Tama berpacu dengan sepeda motornya agar Ica tidak terlambat.
"Brum....
brum... Tin Tinnnn.. Icaaa... cepaaat!!! Kebiasaanmu itu terlambat!! Gak malu
disetrap tiap hari sama gurunya!!" mulailah serentetan kuliah Tama, khusus
untuk adiknya setiap pagi. Sementara di dalam rumah, Ica yang dibantu Papa
memasangkan kaos kaki dan Mama yang memegangkan gelas berisi susu mulai panik
melihat jam, lima menit lagi sebelum bel masuk, sedangkan perjalanan dari rumah
ke sekolah memakan waktu setidaknya lebih dari itu. Setelah siap ia langsung
pamit pada kedua orang tuanya yang ikut panik, dan berlari menuju sepeda motor
yang telah siap meluncur. Namun tidak seperti harapan Ica, Tama tidak mau
memacu sepeda motornya seperti biasa.
"Ayo
Maaaas... 'ngebuuut.. udah telat ini!!" pinta Ica.
"Biar
aja!! Biar terlambat. Kebiasaan burukmu itu terlambat!!" jawab Tama yang
dengan santai mengendarai sepeda motornya.
Benar
saja, di sekolah Ica menjadi siswa terakhir yang disambut oleh guru yang sedang
piket. Ica pun pasrah menerima hukuman mengutip sampah dan mencabut rumput di
depan kantor guru. Setelah selesai, dengan wajah menunduk karena malu, Ica
mengetuk pintu dan meminta izin untuk masuk ke kelas. Tentu saja disambut
dengan ejekan dan tawa dari teman-temannya. Dalam hati Ica menyalahkan Tama
yang sengaja membuatnya terlambat.
Tidak
cukup di pagi hari, kegaduhan juga kadang terjadi di sore hari. Saat Tama tidak
sabar menunggu adiknya yang sedang piket membersihkan kelasnya, dan akhirnya
pulang tanpa rasa bersalah meninggalkan Ica di sekolah. Ica pun kecewa
mendapati Tama yang sudah pergi, dan akhirnya pulang dengan angkutan umum.
Sesampainya di rumah, Ica yang entah mengapa sangat sedih ditinggalkan oleh
Tama mengadukan Tama pada Papa sambil berlinang air mata.
"Ica
tadi nyapu bentar Pa, masa Mas Tama gak bisa nunggu bentar.." jelas Ica di
sela sesenggukannya. Setelah bertahun-tahun, Tama masih berbakat membuat
adiknya menangis.
***
"Mas
Tama menikah?? Koq ada yang mau ya sama Masku yang judes ini?" ledek Ica
sebelum akad nikah berlangsung. Tama tidak menjawab, terlihat jelas ia sedang
gugup, keringat bermunculan di dahinya, padahal cuaca sedang tidak panas saat
itu.
Setelah
sukses melangsungkan akad nikah, maka Tama dan istrinya pun sungkem kepada
keluarga kedua mempelai. Ica yang memilih untuk duduk di sudut menunduk dalam,
ada rasa kehilangan dalam hatinya dan memicu butiran bening kembali mengalir
dari sudut matanya. Pastinya ia tidak bisa penuh memiliki kebersamaan dengan
Mas Tamanya seperti dulu, itu yang dipikirkannya.
Setelah
sungkem, Tama dan istrinya meminta izin untuk melaksanakan sholat sunnah dua
raka'at, berjama'ah untuk yang pertama kalinya di kamar pengantin. Ica yang
telah tersadar dari kesedihannya, tiba-tiba memiliki ide untuk membalas dendam
pada Tama yang sering iseng padanya. Ica mengajak Sisi - kakaknya - untuk
menyabotase kamar pengantin. Mereka berdua memaksa masuk sambil membawa kamera.
"Permisi...
Mau ngambil foto Pak, Bu.. Silakan berpose.." seru Ica pada kedua mempelai
yang masih canggung dan malu-malu. Tama menggeleng-gelengkan kepalanya melihat
tingkah kedua saudaranya.
"Ayo..
cepat.." desak Ica sambil menarik keduanya untuk berdiri tegak dan mengambil
pose. Namun keduanya benar-benar berdiri tegak, persis seperti pose pada saat
pas foto.
Sambil
menahan geli, Ica kembali berkomentar, "Masa foto pengantin kaya orang
musuhan gitu, yang deket donk, gini loh..." seru Ica sambil meletakkan
lengan Tama pada bahu istrinya, yang langsung diabadikan oleh Sisi dengan
kamera digitalnya.
"Ica!!!
Awas kamu nanti ya!!! Tunggu pembalasan dari Mas!!" ancam Tama pada Ica.
Ica dan Sisi tertawa melihat kecanggungan Tama dan melarikan diri keluar dari
kamar pengantin.
***
"Ica
mengenalnya sebagai pemuda yang baik Mas", seru Ica sambil menunduk,
"memang belum begitu mengenalnya, tapi Ica yakin dia orang yang baik,
Mas", tambahnya lagi.
"Ica,
Mas sarankan untuk bersabar dulu.." jawab Tama.
"Kenapa?
Kenapa bukan dia? Kenapa gak boleh? Bagi Ica, dia lebih dari yang Ica harap
Mas.." pinta Ica dengan pandangan yang semakin menunduk.
"Pokoknya
Mas bilang tidak Ca!!" jawab Tama. Ketegasan Tama diamini oleh Mama dan
saudara-saudara Ica yang lain.
Malamnya,
setelah sholat Isya berjama'ah dengan Mama, Ica menanyakan pendapat Mama
tentang keinginannya menikah dengan seorang pemuda yang telah bersungguh-sungguh
melamarnya. Namun Mama ternyata berpegang teguh untuk mengikuti keputusan Tama.
"Masmu
itu paling mengenalmu Ca, dia ingin yang terbaik buat Ica. Turuti aja apa kata
Masmu ya Nduk.. Lagipula, Ica belum benar-benar mengenalnya bukan? Kami khawatir,
bagaimana kalau..."
"Kalau
apa Ma? Apa masalahnya? Dia bekerja koq, dan dia yang Ica kenal pekerja keras
dan tidak mudah menyerah apalagi putus asa, dia pasti berusaha untuk
membahagiakan Ica. Lagipula Allah jamin orang yang menikah karena Allah akan
dikayakan Allah Ma. Lagipula Mama kan sudah membiasakan kami untuk hidup
sederhana. Mama tahu kan, Ica gak neko-neko, gak suka bermewah-mewah. Kalau itu
alasannya Ica gak terima Ma.. Masalah agama? Insya Allah Ica yakin, kami akan
bersama-sama belajar, kami akan berusaha menjadi pribadi yang berkali lipat
lebih baik ibadah dan agamanya sesudah menikah Ma" jawab Ica. Dalam
hatinya ia sedih, kecewa pada keluarganya.
Untuk
ke sekian kalinya, keputusan Tama membuat Ica sedih. Namun Ica kini telah
dewasa. Sejak ditempa di kampus, Ica menjadi sosok yang lebih kuat dan dewasa,
tidak cengeng seperti dulu. Ia telah terbiasa menomorsekiankan perasaan
pribadinya disetiap keputusan. Ia menumpahkan perasaannya di atas sajadah di
jam-jam sepi, agar tidak ada yang melihat kecengengannya.
Di
setiap do'anya ia menyelipkan harapan, "Ya Allah, aku tidak ingin
menyakiti dan menzholimi siapapun. Baik pemuda itu, keluargaku, terutama
Engkau. Jika aku memilih salah satu di antara mereka, akan ada satu pihak yang
tersakiti. Apakah tidak bisa aku membahagiakan keduanya sekaligus Ya Robb?
Tidak bisakah? Berikan ketetapan hati padaku Ya Robb. Aku ridho akan keputusanMu,
asal Engkau tidak murka padaku."
***
Ica memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya, ia berhasil
meraih beasiswa di Tokyo Tech University di jurusan yang ia cita-citakan,
"Multimedia and Human Computer Interface". Sebelum pergi, ia berpamitan
dengan ketiga sahabat yang selama ini menjadi bagian terdekatnya, meminta izin
untuk pergi dua tahun saja, dan berjanji akan kembali lagi bersama-sama untuk mewujudkan
mimpi-mimpi mereka. Di satu sisi, ia berat meninggalkan semuanya, terutama Mama
yang sudah semakin tua. Namun pergi adalah keputusan terbaik untuk semuanya
saat ini.
Kepada ustadzah yang membimbingnya, ia menitipkan pesan
untuk disampaikan kepada pemuda yang melamarnya, "Tolong sampaikan kata
"maaf" padanya, dan semoga peristiwa ini tidak menyurutkan
kontribusinya untuk tetap aktif dalam proyek kebaikan di jalan dakwah ini. Satu
lagi Ustadzah, yakinkan dia bahwa suatu
saat nanti pemuda itu pasti menemukan gadis lain yang jauh lebih baik daripada
yang ia harapkan saat ini, asalkan ia mau bersungguh-sungguh menjaga diri dan
meningkatkan kualitas ibadahnya. Hm... kalau boleh, tolong bantu dia. Carikan
calon istri buatnya Ustadzah.."
Semua keluarganya ikut mengantar hingga bandara, kecuali
Tama yang pada saat itu sibuk mengikuti pelatihan dari kantornya. Saat berjalan
menuju pesawat, sekilas ia berbalik dan berpesan pada Mama "Ma, tolong
sampaikan pada Mas Tama, jika selama masa kuliah ada yang ingin melamar, Ica
serahkan sepenuhnya kepada Mas Tama, terserah padanya apakah diterima atau
tidak, dan Ica tidak perlu tahu siapa orangnya. Ica percayakan pada Mas
Tama", jelas Ica. Mama menatap mata puteri bungsunya dengan sedih,
kemudian mengangguk.
***
Dua tahun berjalan singkat. Ica yang memang sangat menyukai
pilihan program masternya dapat menyelesaikan kuliah tepat waktu. Ia cukup puas
walaupun tidak termasuk ke dalam jajaran yang terbaik, namun sudah berhasil
menunaikan satu mimpinya. Ia sudah mengabarkan rencana kepulangannya ke tanah
air sejak seminggu lalu. Ia sedang membuka email untuk mencetak tiket
pesawatnya saat itu, saat dilihatnya ada pesan masuk dari Tama. Ia pun langsung
membuka dan membaca isinya saat ia sampai di suatu baris yang mengejutkan.
"Sebelum pergi Ica pernah berpesan untuk menyerahkan
kepada Mas jika ada yang melamarmu bukan? Nah, ada seseorang yang melamar Ica,
kali ini Mas tahu persis akhlak dan ibadahnya baik, namun Mas belum menerimanya
karena belum mendapat persetujuan Ica. Jadi bagaimana Dik?"
"Terserah Mas aja. Kalau memang baik, Ica ridho. Ica
terima. Siapkan aja pernikahannya Mas, sederhana saja tidak usah berlebihan.
Tidak usah sebutkan siapa namanya, Ica ingin hati ini tetap terjaga hingga
saatnya tiba." balasnya mantap.
***
"Subhanallah walhamdulillah..." Ica terkejut dan
terduduk lemas ketika melihat sisa cetakan undangan pernikahannya yang sudah
tersebar.
"Kenapa Ca, nyesel? Mau berubah pikiran? Atau kita
batalin aja? Masih ada waktu koq dua hari lagi.." goda Tama pada adiknya.
Ica mengarahkan pandangannya pada Tama dan tersenyum, kemudian mencari benda
terdekat yang bisa dijadikan senjata untuk memukul kakaknya yang iseng, ia
mendapatkan bantal kursi dan segera berlari memburu Tama. Merasa jiwanya
terancam, Tama bergegas mengambil langkah seribu menjauhi Ica, ia tahu betul
bagaimana rupa adiknya kala mengamuk. "Mamaaaaa.... tolooongg... ada singa
betina ngamuuuk..." teriak Tama sembari bersembunyi dibalik Mama.
Ica tiba di tanah air dua hari menjelang pernikahan, segala
sesuatunya sudah dipersiapkan oleh keluarga besar dan teman-temannya. Termasuk
kejutan yang sengaja mereka jaga kerahasiannya. Nama yang tercantum dalam
undangan adalah nama pemuda yang dua tahun lalu hendak melamarnya dan ditolak oleh
kakaknya.
"Maaf ya Dik, sudah membuatmu menunggu selama dua
tahun lamanya. Mas hanya ingin memastikan kamu berada di tangan orang yang
tepat. Beliau memang pemuda yang sholehnya luar biasa, dan sudah membuktikannya
di depan semua orang. Dan dia keras kepala persis sepertimu. Berkali-kali ia
menolak gadis lain yang ditawarkan untuk menjadi istrinya. Setelah kabar
kepulanganmu sampai padanya, ia datang menemui Mas, dan bertanya apakah ia boleh
melamarmu, lagi. Maka Mas pun langsung menyetujuinya. Dasar anak bodoh, dia
pasti tidak tahu kalau calon istrinya ini bisa berubah menjadi singa saat
marah", jelas Tama sambil meringis memegangi lengannya yang menjadi korban
amukan Ica. Tidak terima dipanggil singa, Ica mengancam dengan matanya yang
melotot ke arah Tama. Namun sekejap berubah menjadi senyum. "Huh.. Mas
Tama memang bukan 'Mas Gagah'. Tapi... jazakallah ya Mas..." seru Ica
sembari kembali tersenyum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar