Jumat, 22 November 2013

KETIKA MASKU BUKAN MAS GAGAH

Tama dan Ica, memiliki hubungan yang cukup rumit. Bagi Tama, Ica adalah adik yang tak disangka hadir dan sukses menggusur kedudukannya sebagai anak bungsu di tengah keluarga mereka. Konon, awalnya Tama yang saat itu berusia tujuh tahun sangat senang sekali mendapatkan seorang adik, sampai suatu ketika ia berubah pikiran dan berkomentar,  "Huh.. Ternyata gak enak punya adik. Capek, bolak-balik disuruh ngambil popok..."

***

Tama tumbuh dan menjelma menjadi sosok kakak yang gemar mengganggu kedamaian adiknya. Pernah suatu ketika Ica sedang sendirian bermain BP di ruang keluarga mereka. Ica asyik membangun kompleks perumahan yang berasal dari berbagai  barang rongsokan yang menurut imajinasinya mirip dengan miniatur perabotan rumah. Sebagian besarnya berbahan kertas. Namun tiba-tiba Tama seenaknya melewati dan memijak kompleks pemukiman yang telah susah payah Ica bangun tersebut.

"Dung.. dung.. Raksasa lewaaaat...!!!" seru Tama sambil memperagakan gaya jalan seorang raksasa. Kontan saja Ica berteriak sambil menangis, "Maaaaa... Mas Tama jaahaaaaat!!!!"

Tidak sekali dua kali Tama mengulangi kejahatannya tersebut. Kali lain ia sengaja menghidupkan kipas angin dengan kencang dan mengarahkannya ke kompleks pemukiman BP Ica, sambil menyeringai ia berkata, "Awaaaas... Ada angin topaaaaan!!". Tentu saja aksinya tersebut sukses membuat adiknya marah. "Maaaa... Mas Tamaaaaaa!!!" serunya sambil menangisi BPnya yang porak poranda diterjang "angin topan".

***

Walau sering menjadi korban keisengan Tama, Ica sangat suka mengikuti kakaknya. Sebaliknya, Tama tidak suka diikuti adiknya. Kadang Ica meminta ikut saat Tama mencari daun sintrong kesukaan para kelinci peliharaan mereka. Tanpa menggubris permintaan adiknya, Tama sengaja mengayuh sepedanya kencang-kencang agar Ica tidak bisa menyusulnya. Ica hanya bisa melihatnya dari jauh dengan mata yang berkaca-kaca dan bibir manyun.

Lain waktu Ica ingin mengikuti Tama yang menceburkan diri ke dalam parit besar di depan rumah mereka, mencari cacing halus untuk pakan ikan laga kesayangan Tama. Ica sudah bersiap menjulurkan kakinya saat Tama melarangnya, "Jangan turun Dek, nanti jorok, nanti kamu dimarahin Mama. Lagian susah naiknya. Udah di atas aja sana..." serunya pada Ica. Ica pun menurut, memandangi keasyikan kakaknya memanen cacing bersama teman-temannya.

***

Suatu hari Tama berbaik hati, ia mengabulkan permintaan adiknya untuk ikut bermain bersamanya, itupun karena Tama sedang sendiri karena teman-teman sekomplotannya tidak ada yang muncul pada hari itu. Ica yang baru belajar naik sepeda senang bukan main, membawa tali plastik, mengikatkan tali tersebut pada sepeda Tama dan sepedanya. Ica ingin kakaknya menarik sepedanya sehingga ia tidak harus mengayuh sendiri. Namun Ica belum siap saat Tama melaju dengan kecepatan maksimal, membuat Ica terjatuh dan terseret. Tama terkejut dan berhenti, ia langsung menolong adiknya. Awalnya Ica terdiam, namun saat melihat dan merasakan lutut dan lengannya berdarah, ia pun menangis. Tama membawa adiknya masuk ke rumah dan diceramahi habis-habisan oleh Mama.

Setelah tragedi naas tersebut, Ica masih belum kapok bermain sepeda dengan Tama. Suatu hari Tama mengajak Ica untuk ikut bermain sepeda, namun kali ini Tama menyuruh Ica duduk di stang sepedanya. Mungkin Tama merasa bersalah dan ingin menebusnya, maka ia membawa adiknya itu berkeliling kompleks sambil bersama-sama menirukan sebuah iklan yang dibintangi oleh Ria dan boneka Susan yang sedang populer pada saat itu. "Si kuman kuman kaya' the beast.. Koq the beast?.." Ica pun tertawa saat melihat gaya Tama berulangkali menirukan suara boneka Susan. Ica yang mendapat bakat iseng dari kakaknya tersebut memindahkan pegangannya yang semula pada pundak ke leher kakaknya, yang merupakan titik sensitif Tama. "Tikitikitik......" seru Ica sambil menggelitiki leher Tama, yang membuat Tama kehilangan keseimbangan dan mengakibatkan gaya grafitasi menarik mereka berdua jatuh ke bumi. Ica tertimpa sepeda, dan berdarah lagi. Tama pun membawa adiknya yang menangis ke rumah yang lagi-lagi menyulut kemarahan Mama. "Lain kali gak boleh main sepeda lagi..!!!" bentak Mama pada Tama.

***

Tama tidak mau lagi mengajak Ica bermain sepeda. Dan Ica pun kapok mengikuti kakaknya, terlebih setelah Ica menyadari bahwa permainan Tama dan komplotannya berbahaya. Pernah ia memperhatikan Tama dan teman-temannya bermain sepeda sambil membawa ketapel, kemudian mereka berhenti dan mengarahkan ketapelnya ke arah pohon sirsak yang ada di halaman belakang rumah mereka. Seperti dikejar setan, tiba-tiba mereka mengayuh sepeda dengan kecepatan tinggi menjauh dari pohon itu. "Gila... Mas Tama.. dasar anak nakal!!" seru Ica sambil menggeleng-geleng melihat tingkah komplotan Tama tersebut, karena seingat Ica di pohon itu ada sarang lebah. Mulai saat itu Ica berkesimpulan dan menganggap Tama sebagai anak nakal.

Hingga Tama duduk di bangku SMA, kesan itu masih kuat melekat . Terbukti dengan banyak ditemukan kursi terbalik di rapotnya, kukunya panjang, rambut jigraknya yang gondrong, sampai-sampai Mama pernah mendapat surat panggilan untuk datang ke sekolah karena Tama enggan memangkas rambutnya.

***

Tama, tidak seperti Johan dan Sisi, kakak pertama dan keduanya yang memang diharapkan berhasil masuk dan kuliah di PTN. Memang, keluarganya tidak berharap banyak ketika Tama memutuskan untuk mengikuti ujian masuk di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di kota. Namun nasib berbaik hati padanya, entah karena kebetulan apa ia pun lulus ujian. Saat Tama pergi merantau ke ibukota, jadilah Ica anak tunggal di rumah mereka.

***

Saat kuliah, Sisi menitipkan Tama di kontrakan temannya yang merupakan aktivis musholla di kampus. Sisi tahu bahwa adiknya tidak senakal itu, walaupun badung, sebenarnya Tama masih berpotensi untuk menjadi baik jika ada yang bisa mengarahkannya. Benar saja, Tama pun sedikit demi sedikit berubah setelah ia secara rutin mengikuti halaqoh dan mentoring di kampusnya. Tama pun tidak lupa akan adik bungsunya di kampung yang menginjak remaja, Ica. Tama tahu bahwa adiknya suka membaca sejak kecil, maka setiap bulannya ia mengirimkan majalah Annida, majalah remaja Islam yang sedang tren saat itu. Sesekali ia juga membelikan novel dan kumpulan cerpen islami yang dianggap sesuai untuk adiknya. Ica memang sudah "dipaksa" berjilbab oleh kakaknya Sisi sejak tahun pertamanya di tsanawiyah. Namun Ica benar-benar menerima dengan ikhlas jilbabnya setelah ia tersentuh dengan novel kiriman Tama yang berjudul Ketika Mas Gagah Pergi tulisan Helvi Tiana Rosa.

***

Saat liburan kuliah adalah saat-saat yang ditunggu Ica. Ketika Tama pulang, Ica takjub melihat kakaknya yang sudah berubah. Tama si anak nakal mengajak dan memimpin mereka sekeluarga untuk sholat berjama'ah, dengan surah-surah yang agak panjang. Belakangan Ica tahu bahwa yang sering dibaca Tama adalah surah yang ada di buku al-ma'tsurat kubro yang sering dibaca Tama setiap hari. Namun Ica kurang beruntung, kegemaran Tama mengganggu kenyamanan adiknya tidak turut berubah. Ketentraman di rumah mereka terusik pada suatu minggu.

Minggu adalah hari besar yang selalu ditunggu Ica, selain karena libur sekolah, yang paling penting adalah jadwal menonton film kartun favoritnya. Kebetulan siang itu mereka sekeluarga akan berangkat mengunjungi saudara Mama. Sejak pagi Mama menyuruh Ica bersiap-siap. Namun Ica yang konsentrasi penuh menonton tidak menggubris perintah Mama yang berulang kali menyuruhnya mandi, sehingga membuat Tama menggeleng-gelengkan kepala dan menarik paksa Ica ke kamar mandi, mengguyurnya dengan beberapa gayung air, membuat Ica dan pakaiannya basah kuyup. Ica yang meneladani sifat nakal dan keras kepala dari Tama tidak mau mengalah, ia keluar dari kamar mandi dengan pakaiannya yang basah dan kembali melanjutkan tontonannya yang terganggu. Saat Tama melihat adiknya yang basah kuyup melotot di depan televisi, ia kembali mencengkram lengan Ica dan memasukkannya ke kamar mandi sekali lagi, kali ini Tama menguncinya dari luar.
"Maaas... buka pintunya... Itu si Inuyasha barusan dapet jurus pedang baru... Udah mau habis koq bentar lagi...." rengek Ica, namun tidak mendapat balasan dari Tama. Maka Ica pun terpaksa bergegas mandi.

"Mama... tolong buka pintunya Ma.. " teriak Ica, saat ia mendengar suara Mama di depan pintu.

"Koq di kunci dari luar?" tanya Mama.
"Iya itu, Mas Tama..." jawab Ica singkat sambil bersungut-sungut merutuki Tama yang membuatnya ketinggalan episode penting dalam kartun favoritnya.

***

Ica menginjak usia 16 tahun. Tama sudah selesai kuliah dan kembali ke rumah mereka. Sisi dan Johan sudah menikah dan memisahkan diri membentuk koloni baru keluarga kecil mereka. Karena baru selesai kuliah dan belum mendapatkan pekerjaan, jadilah Tama diberi tugas oleh Papa untuk mengantar jemput Ica ke sekolah. Setelah sekian lama tidak terdengar suara gaduh di rumah mereka, akhirnya ketentraman itu pun pecah setiap pagi dan sore saat jam masuk dan pulang sekolah Ica. Pasalnya Ica selalu berangkat sekolah di menit-menit "injury time", yang mengharuskan Tama berpacu dengan sepeda motornya agar Ica tidak terlambat.

"Brum.... brum... Tin Tinnnn.. Icaaa... cepaaat!!! Kebiasaanmu itu terlambat!! Gak malu disetrap tiap hari sama gurunya!!" mulailah serentetan kuliah Tama, khusus untuk adiknya setiap pagi. Sementara di dalam rumah, Ica yang dibantu Papa memasangkan kaos kaki dan Mama yang memegangkan gelas berisi susu mulai panik melihat jam, lima menit lagi sebelum bel masuk, sedangkan perjalanan dari rumah ke sekolah memakan waktu setidaknya lebih dari itu. Setelah siap ia langsung pamit pada kedua orang tuanya yang ikut panik, dan berlari menuju sepeda motor yang telah siap meluncur. Namun tidak seperti harapan Ica, Tama tidak mau memacu sepeda motornya seperti biasa.

"Ayo Maaaas... 'ngebuuut.. udah telat ini!!" pinta Ica.
"Biar aja!! Biar terlambat. Kebiasaan burukmu itu terlambat!!" jawab Tama yang dengan santai mengendarai sepeda motornya.

Benar saja, di sekolah Ica menjadi siswa terakhir yang disambut oleh guru yang sedang piket. Ica pun pasrah menerima hukuman mengutip sampah dan mencabut rumput di depan kantor guru. Setelah selesai, dengan wajah menunduk karena malu, Ica mengetuk pintu dan meminta izin untuk masuk ke kelas. Tentu saja disambut dengan ejekan dan tawa dari teman-temannya. Dalam hati Ica menyalahkan Tama yang sengaja membuatnya terlambat.

Tidak cukup di pagi hari, kegaduhan juga kadang terjadi di sore hari. Saat Tama tidak sabar menunggu adiknya yang sedang piket membersihkan kelasnya, dan akhirnya pulang tanpa rasa bersalah meninggalkan Ica di sekolah. Ica pun kecewa mendapati Tama yang sudah pergi, dan akhirnya pulang dengan angkutan umum. Sesampainya di rumah, Ica yang entah mengapa sangat sedih ditinggalkan oleh Tama mengadukan Tama pada Papa sambil berlinang air mata.

"Ica tadi nyapu bentar Pa, masa Mas Tama gak bisa nunggu bentar.." jelas Ica di sela sesenggukannya. Setelah bertahun-tahun, Tama masih berbakat membuat adiknya menangis.

***

"Mas Tama menikah?? Koq ada yang mau ya sama Masku yang judes ini?" ledek Ica sebelum akad nikah berlangsung. Tama tidak menjawab, terlihat jelas ia sedang gugup, keringat bermunculan di dahinya, padahal cuaca sedang tidak panas saat itu.

Setelah sukses melangsungkan akad nikah, maka Tama dan istrinya pun sungkem kepada keluarga kedua mempelai. Ica yang memilih untuk duduk di sudut menunduk dalam, ada rasa kehilangan dalam hatinya dan memicu butiran bening kembali mengalir dari sudut matanya. Pastinya ia tidak bisa penuh memiliki kebersamaan dengan Mas Tamanya seperti dulu, itu yang dipikirkannya.

Setelah sungkem, Tama dan istrinya meminta izin untuk melaksanakan sholat sunnah dua raka'at, berjama'ah untuk yang pertama kalinya di kamar pengantin. Ica yang telah tersadar dari kesedihannya, tiba-tiba memiliki ide untuk membalas dendam pada Tama yang sering iseng padanya. Ica mengajak Sisi - kakaknya - untuk menyabotase kamar pengantin. Mereka berdua memaksa masuk sambil membawa kamera.

"Permisi... Mau ngambil foto Pak, Bu.. Silakan berpose.." seru Ica pada kedua mempelai yang masih canggung dan malu-malu. Tama menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah kedua saudaranya.

"Ayo.. cepat.." desak Ica sambil menarik keduanya untuk berdiri tegak dan mengambil pose. Namun keduanya benar-benar berdiri tegak, persis seperti pose pada saat pas foto.

Sambil menahan geli, Ica kembali berkomentar, "Masa foto pengantin kaya orang musuhan gitu, yang deket donk, gini loh..." seru Ica sambil meletakkan lengan Tama pada bahu istrinya, yang langsung diabadikan oleh Sisi dengan kamera digitalnya.

"Ica!!! Awas kamu nanti ya!!! Tunggu pembalasan dari Mas!!" ancam Tama pada Ica. Ica dan Sisi tertawa melihat kecanggungan Tama dan melarikan diri keluar dari kamar pengantin.

***

"Ica mengenalnya sebagai pemuda yang baik Mas", seru Ica sambil menunduk, "memang belum begitu mengenalnya, tapi Ica yakin dia orang yang baik, Mas", tambahnya lagi.

"Ica, Mas sarankan untuk bersabar dulu.." jawab Tama.

"Kenapa? Kenapa bukan dia? Kenapa gak boleh? Bagi Ica, dia lebih dari yang Ica harap Mas.." pinta Ica dengan pandangan yang semakin menunduk.

"Pokoknya Mas bilang tidak Ca!!" jawab Tama. Ketegasan Tama diamini oleh Mama dan saudara-saudara Ica yang lain.

Malamnya, setelah sholat Isya berjama'ah dengan Mama, Ica menanyakan pendapat Mama tentang keinginannya menikah dengan seorang pemuda yang telah bersungguh-sungguh melamarnya. Namun Mama ternyata berpegang teguh untuk mengikuti keputusan Tama.

"Masmu itu paling mengenalmu Ca, dia ingin yang terbaik buat Ica. Turuti aja apa kata Masmu ya Nduk.. Lagipula, Ica belum benar-benar mengenalnya bukan? Kami khawatir, bagaimana kalau..."

"Kalau apa Ma? Apa masalahnya? Dia bekerja koq, dan dia yang Ica kenal pekerja keras dan tidak mudah menyerah apalagi putus asa, dia pasti berusaha untuk membahagiakan Ica. Lagipula Allah jamin orang yang menikah karena Allah akan dikayakan Allah Ma. Lagipula Mama kan sudah membiasakan kami untuk hidup sederhana. Mama tahu kan, Ica gak neko-neko, gak suka bermewah-mewah. Kalau itu alasannya Ica gak terima Ma.. Masalah agama? Insya Allah Ica yakin, kami akan bersama-sama belajar, kami akan berusaha menjadi pribadi yang berkali lipat lebih baik ibadah dan agamanya sesudah menikah Ma" jawab Ica. Dalam hatinya ia sedih, kecewa pada keluarganya.

Untuk ke sekian kalinya, keputusan Tama membuat Ica sedih. Namun Ica kini telah dewasa. Sejak ditempa di kampus, Ica menjadi sosok yang lebih kuat dan dewasa, tidak cengeng seperti dulu. Ia telah terbiasa menomorsekiankan perasaan pribadinya disetiap keputusan. Ia menumpahkan perasaannya di atas sajadah di jam-jam sepi, agar tidak ada yang melihat kecengengannya.

Di setiap do'anya ia menyelipkan harapan, "Ya Allah, aku tidak ingin menyakiti dan menzholimi siapapun. Baik pemuda itu, keluargaku, terutama Engkau. Jika aku memilih salah satu di antara mereka, akan ada satu pihak yang tersakiti. Apakah tidak bisa aku membahagiakan keduanya sekaligus Ya Robb? Tidak bisakah? Berikan ketetapan hati padaku Ya Robb. Aku ridho akan keputusanMu, asal Engkau tidak murka padaku."

***

Ica memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya, ia berhasil meraih beasiswa di Tokyo Tech University di jurusan yang ia cita-citakan, "Multimedia and Human Computer Interface". Sebelum pergi, ia berpamitan dengan ketiga sahabat yang selama ini menjadi bagian terdekatnya, meminta izin untuk pergi dua tahun saja, dan berjanji akan kembali lagi bersama-sama untuk mewujudkan mimpi-mimpi mereka. Di satu sisi, ia berat meninggalkan semuanya, terutama Mama yang sudah semakin tua. Namun pergi adalah keputusan terbaik untuk semuanya saat ini.

Kepada ustadzah yang membimbingnya, ia menitipkan pesan untuk disampaikan kepada pemuda yang melamarnya, "Tolong sampaikan kata "maaf" padanya, dan semoga peristiwa ini tidak menyurutkan kontribusinya untuk tetap aktif dalam proyek kebaikan di jalan dakwah ini. Satu lagi Ustadzah, yakinkan dia  bahwa suatu saat nanti pemuda itu pasti menemukan gadis lain yang jauh lebih baik daripada yang ia harapkan saat ini, asalkan ia mau bersungguh-sungguh menjaga diri dan meningkatkan kualitas ibadahnya. Hm... kalau boleh, tolong bantu dia. Carikan calon istri buatnya Ustadzah.."

Semua keluarganya ikut mengantar hingga bandara, kecuali Tama yang pada saat itu sibuk mengikuti pelatihan dari kantornya. Saat berjalan menuju pesawat, sekilas ia berbalik dan berpesan pada Mama "Ma, tolong sampaikan pada Mas Tama, jika selama masa kuliah ada yang ingin melamar, Ica serahkan sepenuhnya kepada Mas Tama, terserah padanya apakah diterima atau tidak, dan Ica tidak perlu tahu siapa orangnya. Ica percayakan pada Mas Tama", jelas Ica. Mama menatap mata puteri bungsunya dengan sedih, kemudian mengangguk.

***

Dua tahun berjalan singkat. Ica yang memang sangat menyukai pilihan program masternya dapat menyelesaikan kuliah tepat waktu. Ia cukup puas walaupun tidak termasuk ke dalam jajaran yang terbaik, namun sudah berhasil menunaikan satu mimpinya. Ia sudah mengabarkan rencana kepulangannya ke tanah air sejak seminggu lalu. Ia sedang membuka email untuk mencetak tiket pesawatnya saat itu, saat dilihatnya ada pesan masuk dari Tama. Ia pun langsung membuka dan membaca isinya saat ia sampai di suatu baris yang mengejutkan.

"Sebelum pergi Ica pernah berpesan untuk menyerahkan kepada Mas jika ada yang melamarmu bukan? Nah, ada seseorang yang melamar Ica, kali ini Mas tahu persis akhlak dan ibadahnya baik, namun Mas belum menerimanya karena belum mendapat persetujuan Ica. Jadi bagaimana Dik?"

"Terserah Mas aja. Kalau memang baik, Ica ridho. Ica terima. Siapkan aja pernikahannya Mas, sederhana saja tidak usah berlebihan. Tidak usah sebutkan siapa namanya, Ica ingin hati ini tetap terjaga hingga saatnya tiba." balasnya mantap.

***

"Subhanallah walhamdulillah..." Ica terkejut dan terduduk lemas ketika melihat sisa cetakan undangan pernikahannya yang sudah tersebar.

"Kenapa Ca, nyesel? Mau berubah pikiran? Atau kita batalin aja? Masih ada waktu koq dua hari lagi.." goda Tama pada adiknya. Ica mengarahkan pandangannya pada Tama dan tersenyum, kemudian mencari benda terdekat yang bisa dijadikan senjata untuk memukul kakaknya yang iseng, ia mendapatkan bantal kursi dan segera berlari memburu Tama. Merasa jiwanya terancam, Tama bergegas mengambil langkah seribu menjauhi Ica, ia tahu betul bagaimana rupa adiknya kala mengamuk. "Mamaaaaa.... tolooongg... ada singa betina ngamuuuk..." teriak Tama sembari bersembunyi dibalik Mama.

Ica tiba di tanah air dua hari menjelang pernikahan, segala sesuatunya sudah dipersiapkan oleh keluarga besar dan teman-temannya. Termasuk kejutan yang sengaja mereka jaga kerahasiannya. Nama yang tercantum dalam undangan adalah nama pemuda yang dua tahun lalu hendak melamarnya dan ditolak oleh kakaknya.

"Maaf ya Dik, sudah membuatmu menunggu selama dua tahun lamanya. Mas hanya ingin memastikan kamu berada di tangan orang yang tepat. Beliau memang pemuda yang sholehnya luar biasa, dan sudah membuktikannya di depan semua orang. Dan dia keras kepala persis sepertimu. Berkali-kali ia menolak gadis lain yang ditawarkan untuk menjadi istrinya. Setelah kabar kepulanganmu sampai padanya, ia datang menemui Mas, dan bertanya apakah ia boleh melamarmu, lagi. Maka Mas pun langsung menyetujuinya. Dasar anak bodoh, dia pasti tidak tahu kalau calon istrinya ini bisa berubah menjadi singa saat marah", jelas Tama sambil meringis memegangi lengannya yang menjadi korban amukan Ica. Tidak terima dipanggil singa, Ica mengancam dengan matanya yang melotot ke arah Tama. Namun sekejap berubah menjadi senyum. "Huh.. Mas Tama memang bukan 'Mas Gagah'. Tapi... jazakallah ya Mas..." seru Ica sembari kembali tersenyum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Inuyasha