Jumat, 22 November 2013

KETIKA MASKU BUKAN MAS GAGAH

Tama dan Ica, memiliki hubungan yang cukup rumit. Bagi Tama, Ica adalah adik yang tak disangka hadir dan sukses menggusur kedudukannya sebagai anak bungsu di tengah keluarga mereka. Konon, awalnya Tama yang saat itu berusia tujuh tahun sangat senang sekali mendapatkan seorang adik, sampai suatu ketika ia berubah pikiran dan berkomentar,  "Huh.. Ternyata gak enak punya adik. Capek, bolak-balik disuruh ngambil popok..."

***

Tama tumbuh dan menjelma menjadi sosok kakak yang gemar mengganggu kedamaian adiknya. Pernah suatu ketika Ica sedang sendirian bermain BP di ruang keluarga mereka. Ica asyik membangun kompleks perumahan yang berasal dari berbagai  barang rongsokan yang menurut imajinasinya mirip dengan miniatur perabotan rumah. Sebagian besarnya berbahan kertas. Namun tiba-tiba Tama seenaknya melewati dan memijak kompleks pemukiman yang telah susah payah Ica bangun tersebut.

"Dung.. dung.. Raksasa lewaaaat...!!!" seru Tama sambil memperagakan gaya jalan seorang raksasa. Kontan saja Ica berteriak sambil menangis, "Maaaaa... Mas Tama jaahaaaaat!!!!"

Tidak sekali dua kali Tama mengulangi kejahatannya tersebut. Kali lain ia sengaja menghidupkan kipas angin dengan kencang dan mengarahkannya ke kompleks pemukiman BP Ica, sambil menyeringai ia berkata, "Awaaaas... Ada angin topaaaaan!!". Tentu saja aksinya tersebut sukses membuat adiknya marah. "Maaaa... Mas Tamaaaaaa!!!" serunya sambil menangisi BPnya yang porak poranda diterjang "angin topan".

***

Walau sering menjadi korban keisengan Tama, Ica sangat suka mengikuti kakaknya. Sebaliknya, Tama tidak suka diikuti adiknya. Kadang Ica meminta ikut saat Tama mencari daun sintrong kesukaan para kelinci peliharaan mereka. Tanpa menggubris permintaan adiknya, Tama sengaja mengayuh sepedanya kencang-kencang agar Ica tidak bisa menyusulnya. Ica hanya bisa melihatnya dari jauh dengan mata yang berkaca-kaca dan bibir manyun.

Lain waktu Ica ingin mengikuti Tama yang menceburkan diri ke dalam parit besar di depan rumah mereka, mencari cacing halus untuk pakan ikan laga kesayangan Tama. Ica sudah bersiap menjulurkan kakinya saat Tama melarangnya, "Jangan turun Dek, nanti jorok, nanti kamu dimarahin Mama. Lagian susah naiknya. Udah di atas aja sana..." serunya pada Ica. Ica pun menurut, memandangi keasyikan kakaknya memanen cacing bersama teman-temannya.

***

Suatu hari Tama berbaik hati, ia mengabulkan permintaan adiknya untuk ikut bermain bersamanya, itupun karena Tama sedang sendiri karena teman-teman sekomplotannya tidak ada yang muncul pada hari itu. Ica yang baru belajar naik sepeda senang bukan main, membawa tali plastik, mengikatkan tali tersebut pada sepeda Tama dan sepedanya. Ica ingin kakaknya menarik sepedanya sehingga ia tidak harus mengayuh sendiri. Namun Ica belum siap saat Tama melaju dengan kecepatan maksimal, membuat Ica terjatuh dan terseret. Tama terkejut dan berhenti, ia langsung menolong adiknya. Awalnya Ica terdiam, namun saat melihat dan merasakan lutut dan lengannya berdarah, ia pun menangis. Tama membawa adiknya masuk ke rumah dan diceramahi habis-habisan oleh Mama.

Setelah tragedi naas tersebut, Ica masih belum kapok bermain sepeda dengan Tama. Suatu hari Tama mengajak Ica untuk ikut bermain sepeda, namun kali ini Tama menyuruh Ica duduk di stang sepedanya. Mungkin Tama merasa bersalah dan ingin menebusnya, maka ia membawa adiknya itu berkeliling kompleks sambil bersama-sama menirukan sebuah iklan yang dibintangi oleh Ria dan boneka Susan yang sedang populer pada saat itu. "Si kuman kuman kaya' the beast.. Koq the beast?.." Ica pun tertawa saat melihat gaya Tama berulangkali menirukan suara boneka Susan. Ica yang mendapat bakat iseng dari kakaknya tersebut memindahkan pegangannya yang semula pada pundak ke leher kakaknya, yang merupakan titik sensitif Tama. "Tikitikitik......" seru Ica sambil menggelitiki leher Tama, yang membuat Tama kehilangan keseimbangan dan mengakibatkan gaya grafitasi menarik mereka berdua jatuh ke bumi. Ica tertimpa sepeda, dan berdarah lagi. Tama pun membawa adiknya yang menangis ke rumah yang lagi-lagi menyulut kemarahan Mama. "Lain kali gak boleh main sepeda lagi..!!!" bentak Mama pada Tama.

***

Tama tidak mau lagi mengajak Ica bermain sepeda. Dan Ica pun kapok mengikuti kakaknya, terlebih setelah Ica menyadari bahwa permainan Tama dan komplotannya berbahaya. Pernah ia memperhatikan Tama dan teman-temannya bermain sepeda sambil membawa ketapel, kemudian mereka berhenti dan mengarahkan ketapelnya ke arah pohon sirsak yang ada di halaman belakang rumah mereka. Seperti dikejar setan, tiba-tiba mereka mengayuh sepeda dengan kecepatan tinggi menjauh dari pohon itu. "Gila... Mas Tama.. dasar anak nakal!!" seru Ica sambil menggeleng-geleng melihat tingkah komplotan Tama tersebut, karena seingat Ica di pohon itu ada sarang lebah. Mulai saat itu Ica berkesimpulan dan menganggap Tama sebagai anak nakal.

Hingga Tama duduk di bangku SMA, kesan itu masih kuat melekat . Terbukti dengan banyak ditemukan kursi terbalik di rapotnya, kukunya panjang, rambut jigraknya yang gondrong, sampai-sampai Mama pernah mendapat surat panggilan untuk datang ke sekolah karena Tama enggan memangkas rambutnya.

***

Tama, tidak seperti Johan dan Sisi, kakak pertama dan keduanya yang memang diharapkan berhasil masuk dan kuliah di PTN. Memang, keluarganya tidak berharap banyak ketika Tama memutuskan untuk mengikuti ujian masuk di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di kota. Namun nasib berbaik hati padanya, entah karena kebetulan apa ia pun lulus ujian. Saat Tama pergi merantau ke ibukota, jadilah Ica anak tunggal di rumah mereka.

***

Saat kuliah, Sisi menitipkan Tama di kontrakan temannya yang merupakan aktivis musholla di kampus. Sisi tahu bahwa adiknya tidak senakal itu, walaupun badung, sebenarnya Tama masih berpotensi untuk menjadi baik jika ada yang bisa mengarahkannya. Benar saja, Tama pun sedikit demi sedikit berubah setelah ia secara rutin mengikuti halaqoh dan mentoring di kampusnya. Tama pun tidak lupa akan adik bungsunya di kampung yang menginjak remaja, Ica. Tama tahu bahwa adiknya suka membaca sejak kecil, maka setiap bulannya ia mengirimkan majalah Annida, majalah remaja Islam yang sedang tren saat itu. Sesekali ia juga membelikan novel dan kumpulan cerpen islami yang dianggap sesuai untuk adiknya. Ica memang sudah "dipaksa" berjilbab oleh kakaknya Sisi sejak tahun pertamanya di tsanawiyah. Namun Ica benar-benar menerima dengan ikhlas jilbabnya setelah ia tersentuh dengan novel kiriman Tama yang berjudul Ketika Mas Gagah Pergi tulisan Helvi Tiana Rosa.

***

Saat liburan kuliah adalah saat-saat yang ditunggu Ica. Ketika Tama pulang, Ica takjub melihat kakaknya yang sudah berubah. Tama si anak nakal mengajak dan memimpin mereka sekeluarga untuk sholat berjama'ah, dengan surah-surah yang agak panjang. Belakangan Ica tahu bahwa yang sering dibaca Tama adalah surah yang ada di buku al-ma'tsurat kubro yang sering dibaca Tama setiap hari. Namun Ica kurang beruntung, kegemaran Tama mengganggu kenyamanan adiknya tidak turut berubah. Ketentraman di rumah mereka terusik pada suatu minggu.

Minggu adalah hari besar yang selalu ditunggu Ica, selain karena libur sekolah, yang paling penting adalah jadwal menonton film kartun favoritnya. Kebetulan siang itu mereka sekeluarga akan berangkat mengunjungi saudara Mama. Sejak pagi Mama menyuruh Ica bersiap-siap. Namun Ica yang konsentrasi penuh menonton tidak menggubris perintah Mama yang berulang kali menyuruhnya mandi, sehingga membuat Tama menggeleng-gelengkan kepala dan menarik paksa Ica ke kamar mandi, mengguyurnya dengan beberapa gayung air, membuat Ica dan pakaiannya basah kuyup. Ica yang meneladani sifat nakal dan keras kepala dari Tama tidak mau mengalah, ia keluar dari kamar mandi dengan pakaiannya yang basah dan kembali melanjutkan tontonannya yang terganggu. Saat Tama melihat adiknya yang basah kuyup melotot di depan televisi, ia kembali mencengkram lengan Ica dan memasukkannya ke kamar mandi sekali lagi, kali ini Tama menguncinya dari luar.
"Maaas... buka pintunya... Itu si Inuyasha barusan dapet jurus pedang baru... Udah mau habis koq bentar lagi...." rengek Ica, namun tidak mendapat balasan dari Tama. Maka Ica pun terpaksa bergegas mandi.

"Mama... tolong buka pintunya Ma.. " teriak Ica, saat ia mendengar suara Mama di depan pintu.

"Koq di kunci dari luar?" tanya Mama.
"Iya itu, Mas Tama..." jawab Ica singkat sambil bersungut-sungut merutuki Tama yang membuatnya ketinggalan episode penting dalam kartun favoritnya.

***

Ica menginjak usia 16 tahun. Tama sudah selesai kuliah dan kembali ke rumah mereka. Sisi dan Johan sudah menikah dan memisahkan diri membentuk koloni baru keluarga kecil mereka. Karena baru selesai kuliah dan belum mendapatkan pekerjaan, jadilah Tama diberi tugas oleh Papa untuk mengantar jemput Ica ke sekolah. Setelah sekian lama tidak terdengar suara gaduh di rumah mereka, akhirnya ketentraman itu pun pecah setiap pagi dan sore saat jam masuk dan pulang sekolah Ica. Pasalnya Ica selalu berangkat sekolah di menit-menit "injury time", yang mengharuskan Tama berpacu dengan sepeda motornya agar Ica tidak terlambat.

"Brum.... brum... Tin Tinnnn.. Icaaa... cepaaat!!! Kebiasaanmu itu terlambat!! Gak malu disetrap tiap hari sama gurunya!!" mulailah serentetan kuliah Tama, khusus untuk adiknya setiap pagi. Sementara di dalam rumah, Ica yang dibantu Papa memasangkan kaos kaki dan Mama yang memegangkan gelas berisi susu mulai panik melihat jam, lima menit lagi sebelum bel masuk, sedangkan perjalanan dari rumah ke sekolah memakan waktu setidaknya lebih dari itu. Setelah siap ia langsung pamit pada kedua orang tuanya yang ikut panik, dan berlari menuju sepeda motor yang telah siap meluncur. Namun tidak seperti harapan Ica, Tama tidak mau memacu sepeda motornya seperti biasa.

"Ayo Maaaas... 'ngebuuut.. udah telat ini!!" pinta Ica.
"Biar aja!! Biar terlambat. Kebiasaan burukmu itu terlambat!!" jawab Tama yang dengan santai mengendarai sepeda motornya.

Benar saja, di sekolah Ica menjadi siswa terakhir yang disambut oleh guru yang sedang piket. Ica pun pasrah menerima hukuman mengutip sampah dan mencabut rumput di depan kantor guru. Setelah selesai, dengan wajah menunduk karena malu, Ica mengetuk pintu dan meminta izin untuk masuk ke kelas. Tentu saja disambut dengan ejekan dan tawa dari teman-temannya. Dalam hati Ica menyalahkan Tama yang sengaja membuatnya terlambat.

Tidak cukup di pagi hari, kegaduhan juga kadang terjadi di sore hari. Saat Tama tidak sabar menunggu adiknya yang sedang piket membersihkan kelasnya, dan akhirnya pulang tanpa rasa bersalah meninggalkan Ica di sekolah. Ica pun kecewa mendapati Tama yang sudah pergi, dan akhirnya pulang dengan angkutan umum. Sesampainya di rumah, Ica yang entah mengapa sangat sedih ditinggalkan oleh Tama mengadukan Tama pada Papa sambil berlinang air mata.

"Ica tadi nyapu bentar Pa, masa Mas Tama gak bisa nunggu bentar.." jelas Ica di sela sesenggukannya. Setelah bertahun-tahun, Tama masih berbakat membuat adiknya menangis.

***

"Mas Tama menikah?? Koq ada yang mau ya sama Masku yang judes ini?" ledek Ica sebelum akad nikah berlangsung. Tama tidak menjawab, terlihat jelas ia sedang gugup, keringat bermunculan di dahinya, padahal cuaca sedang tidak panas saat itu.

Setelah sukses melangsungkan akad nikah, maka Tama dan istrinya pun sungkem kepada keluarga kedua mempelai. Ica yang memilih untuk duduk di sudut menunduk dalam, ada rasa kehilangan dalam hatinya dan memicu butiran bening kembali mengalir dari sudut matanya. Pastinya ia tidak bisa penuh memiliki kebersamaan dengan Mas Tamanya seperti dulu, itu yang dipikirkannya.

Setelah sungkem, Tama dan istrinya meminta izin untuk melaksanakan sholat sunnah dua raka'at, berjama'ah untuk yang pertama kalinya di kamar pengantin. Ica yang telah tersadar dari kesedihannya, tiba-tiba memiliki ide untuk membalas dendam pada Tama yang sering iseng padanya. Ica mengajak Sisi - kakaknya - untuk menyabotase kamar pengantin. Mereka berdua memaksa masuk sambil membawa kamera.

"Permisi... Mau ngambil foto Pak, Bu.. Silakan berpose.." seru Ica pada kedua mempelai yang masih canggung dan malu-malu. Tama menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah kedua saudaranya.

"Ayo.. cepat.." desak Ica sambil menarik keduanya untuk berdiri tegak dan mengambil pose. Namun keduanya benar-benar berdiri tegak, persis seperti pose pada saat pas foto.

Sambil menahan geli, Ica kembali berkomentar, "Masa foto pengantin kaya orang musuhan gitu, yang deket donk, gini loh..." seru Ica sambil meletakkan lengan Tama pada bahu istrinya, yang langsung diabadikan oleh Sisi dengan kamera digitalnya.

"Ica!!! Awas kamu nanti ya!!! Tunggu pembalasan dari Mas!!" ancam Tama pada Ica. Ica dan Sisi tertawa melihat kecanggungan Tama dan melarikan diri keluar dari kamar pengantin.

***

"Ica mengenalnya sebagai pemuda yang baik Mas", seru Ica sambil menunduk, "memang belum begitu mengenalnya, tapi Ica yakin dia orang yang baik, Mas", tambahnya lagi.

"Ica, Mas sarankan untuk bersabar dulu.." jawab Tama.

"Kenapa? Kenapa bukan dia? Kenapa gak boleh? Bagi Ica, dia lebih dari yang Ica harap Mas.." pinta Ica dengan pandangan yang semakin menunduk.

"Pokoknya Mas bilang tidak Ca!!" jawab Tama. Ketegasan Tama diamini oleh Mama dan saudara-saudara Ica yang lain.

Malamnya, setelah sholat Isya berjama'ah dengan Mama, Ica menanyakan pendapat Mama tentang keinginannya menikah dengan seorang pemuda yang telah bersungguh-sungguh melamarnya. Namun Mama ternyata berpegang teguh untuk mengikuti keputusan Tama.

"Masmu itu paling mengenalmu Ca, dia ingin yang terbaik buat Ica. Turuti aja apa kata Masmu ya Nduk.. Lagipula, Ica belum benar-benar mengenalnya bukan? Kami khawatir, bagaimana kalau..."

"Kalau apa Ma? Apa masalahnya? Dia bekerja koq, dan dia yang Ica kenal pekerja keras dan tidak mudah menyerah apalagi putus asa, dia pasti berusaha untuk membahagiakan Ica. Lagipula Allah jamin orang yang menikah karena Allah akan dikayakan Allah Ma. Lagipula Mama kan sudah membiasakan kami untuk hidup sederhana. Mama tahu kan, Ica gak neko-neko, gak suka bermewah-mewah. Kalau itu alasannya Ica gak terima Ma.. Masalah agama? Insya Allah Ica yakin, kami akan bersama-sama belajar, kami akan berusaha menjadi pribadi yang berkali lipat lebih baik ibadah dan agamanya sesudah menikah Ma" jawab Ica. Dalam hatinya ia sedih, kecewa pada keluarganya.

Untuk ke sekian kalinya, keputusan Tama membuat Ica sedih. Namun Ica kini telah dewasa. Sejak ditempa di kampus, Ica menjadi sosok yang lebih kuat dan dewasa, tidak cengeng seperti dulu. Ia telah terbiasa menomorsekiankan perasaan pribadinya disetiap keputusan. Ia menumpahkan perasaannya di atas sajadah di jam-jam sepi, agar tidak ada yang melihat kecengengannya.

Di setiap do'anya ia menyelipkan harapan, "Ya Allah, aku tidak ingin menyakiti dan menzholimi siapapun. Baik pemuda itu, keluargaku, terutama Engkau. Jika aku memilih salah satu di antara mereka, akan ada satu pihak yang tersakiti. Apakah tidak bisa aku membahagiakan keduanya sekaligus Ya Robb? Tidak bisakah? Berikan ketetapan hati padaku Ya Robb. Aku ridho akan keputusanMu, asal Engkau tidak murka padaku."

***

Ica memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya, ia berhasil meraih beasiswa di Tokyo Tech University di jurusan yang ia cita-citakan, "Multimedia and Human Computer Interface". Sebelum pergi, ia berpamitan dengan ketiga sahabat yang selama ini menjadi bagian terdekatnya, meminta izin untuk pergi dua tahun saja, dan berjanji akan kembali lagi bersama-sama untuk mewujudkan mimpi-mimpi mereka. Di satu sisi, ia berat meninggalkan semuanya, terutama Mama yang sudah semakin tua. Namun pergi adalah keputusan terbaik untuk semuanya saat ini.

Kepada ustadzah yang membimbingnya, ia menitipkan pesan untuk disampaikan kepada pemuda yang melamarnya, "Tolong sampaikan kata "maaf" padanya, dan semoga peristiwa ini tidak menyurutkan kontribusinya untuk tetap aktif dalam proyek kebaikan di jalan dakwah ini. Satu lagi Ustadzah, yakinkan dia  bahwa suatu saat nanti pemuda itu pasti menemukan gadis lain yang jauh lebih baik daripada yang ia harapkan saat ini, asalkan ia mau bersungguh-sungguh menjaga diri dan meningkatkan kualitas ibadahnya. Hm... kalau boleh, tolong bantu dia. Carikan calon istri buatnya Ustadzah.."

Semua keluarganya ikut mengantar hingga bandara, kecuali Tama yang pada saat itu sibuk mengikuti pelatihan dari kantornya. Saat berjalan menuju pesawat, sekilas ia berbalik dan berpesan pada Mama "Ma, tolong sampaikan pada Mas Tama, jika selama masa kuliah ada yang ingin melamar, Ica serahkan sepenuhnya kepada Mas Tama, terserah padanya apakah diterima atau tidak, dan Ica tidak perlu tahu siapa orangnya. Ica percayakan pada Mas Tama", jelas Ica. Mama menatap mata puteri bungsunya dengan sedih, kemudian mengangguk.

***

Dua tahun berjalan singkat. Ica yang memang sangat menyukai pilihan program masternya dapat menyelesaikan kuliah tepat waktu. Ia cukup puas walaupun tidak termasuk ke dalam jajaran yang terbaik, namun sudah berhasil menunaikan satu mimpinya. Ia sudah mengabarkan rencana kepulangannya ke tanah air sejak seminggu lalu. Ia sedang membuka email untuk mencetak tiket pesawatnya saat itu, saat dilihatnya ada pesan masuk dari Tama. Ia pun langsung membuka dan membaca isinya saat ia sampai di suatu baris yang mengejutkan.

"Sebelum pergi Ica pernah berpesan untuk menyerahkan kepada Mas jika ada yang melamarmu bukan? Nah, ada seseorang yang melamar Ica, kali ini Mas tahu persis akhlak dan ibadahnya baik, namun Mas belum menerimanya karena belum mendapat persetujuan Ica. Jadi bagaimana Dik?"

"Terserah Mas aja. Kalau memang baik, Ica ridho. Ica terima. Siapkan aja pernikahannya Mas, sederhana saja tidak usah berlebihan. Tidak usah sebutkan siapa namanya, Ica ingin hati ini tetap terjaga hingga saatnya tiba." balasnya mantap.

***

"Subhanallah walhamdulillah..." Ica terkejut dan terduduk lemas ketika melihat sisa cetakan undangan pernikahannya yang sudah tersebar.

"Kenapa Ca, nyesel? Mau berubah pikiran? Atau kita batalin aja? Masih ada waktu koq dua hari lagi.." goda Tama pada adiknya. Ica mengarahkan pandangannya pada Tama dan tersenyum, kemudian mencari benda terdekat yang bisa dijadikan senjata untuk memukul kakaknya yang iseng, ia mendapatkan bantal kursi dan segera berlari memburu Tama. Merasa jiwanya terancam, Tama bergegas mengambil langkah seribu menjauhi Ica, ia tahu betul bagaimana rupa adiknya kala mengamuk. "Mamaaaaa.... tolooongg... ada singa betina ngamuuuk..." teriak Tama sembari bersembunyi dibalik Mama.

Ica tiba di tanah air dua hari menjelang pernikahan, segala sesuatunya sudah dipersiapkan oleh keluarga besar dan teman-temannya. Termasuk kejutan yang sengaja mereka jaga kerahasiannya. Nama yang tercantum dalam undangan adalah nama pemuda yang dua tahun lalu hendak melamarnya dan ditolak oleh kakaknya.

"Maaf ya Dik, sudah membuatmu menunggu selama dua tahun lamanya. Mas hanya ingin memastikan kamu berada di tangan orang yang tepat. Beliau memang pemuda yang sholehnya luar biasa, dan sudah membuktikannya di depan semua orang. Dan dia keras kepala persis sepertimu. Berkali-kali ia menolak gadis lain yang ditawarkan untuk menjadi istrinya. Setelah kabar kepulanganmu sampai padanya, ia datang menemui Mas, dan bertanya apakah ia boleh melamarmu, lagi. Maka Mas pun langsung menyetujuinya. Dasar anak bodoh, dia pasti tidak tahu kalau calon istrinya ini bisa berubah menjadi singa saat marah", jelas Tama sambil meringis memegangi lengannya yang menjadi korban amukan Ica. Tidak terima dipanggil singa, Ica mengancam dengan matanya yang melotot ke arah Tama. Namun sekejap berubah menjadi senyum. "Huh.. Mas Tama memang bukan 'Mas Gagah'. Tapi... jazakallah ya Mas..." seru Ica sembari kembali tersenyum.

Selasa, 24 September 2013

Lady Rain

30 Agustus 2012

Mendung menggantung di langit Medan, agaknya hujan lebat akan turun seharian. Sampai dini hari berjaga, dugaanku salah. Sepertinya hari ini langit sedang galau, membuatku dan para peramal cuaca amatir lainnya bingung. Padahal kemarin hujan sesukanya turun saat hari cerah tanpa mengikuti prosedur protokolernya yang biasa - mendung - membuatku lari pontang-panting menyelamatkan jemuran.

Sejak kecil aku suka hujan. Duduk berdua bersama bapak di teras rumah, bercerita tentang impianku di masa depan, diiringi melodi hujan.

Lain waktu, pertengkaran hebat dengan sahabat membuat kepulanganku di saat hari kuliah mengundang tanya setiap orang di rumah. Kujawab dengan 'ngalem dan sekenanya : "Kangen mamak.." sambil melingkarkan tangan memeluk ibuku dari belakang. Siasatku berhasil pada ibu. Sorenya, hujan yg memang sengaja kutunggu pun hadir. Tetes-tetes air yang turun mewakili kesedihan yg begitu dalam namun sungkan untuk kuakui. Tanpa kusadari, bapak telah lama memperhatikan sebelum menyusulku mengamati aliran air hujan yang berebut keluar dari talang, hujan seakan mengajakku untuk turut mengalirkan cerita pada bapak. "Gak boleh gitu.. Cepat maafin dia & kamu juga harus minta maaf.." nasihatnya.

Saat hujan, aku suka menjulurkan telapak tanganku untuk mengumpulkan beningnya, membiarkan wajahku terkena tempiasnya, menyelipkan tasbih, keluh kesah dan do'a pada Rabbku di tetes-tetesnya. Jika bersama bapak, berdua kami menurunkan pot-pot bunga ibuku agar kenyang tersiram hujan. Lumayan, menghemat tagihan bulanan PDAM.

Kini bapak tidak bisa lagi menemaniku, namun hujan bisa. Tapi yang kutunggu sejak pagi tak kunjung tiba. Namun aku bersikeras menunggu, hingga menjelang subuh dan skor 2-1 untuk Madrid. Entahlah, cuaca memang sulit diprediksi. Persis seperti hati manusia.

Roda - Rodi


#PHLB, 31 Agustus 2012

Berkeliling mengitari kotaku yang sekarang, alhamdulillah semakin berkembang. Namun sepertinya ada yang aneh, kemana semua anak-anak?

Saat aku kecil, setiap ada lapangan atau tanah kosong selalu dipenuhi dengan suara berisik mereka. Bermain layangan, engklek, serimbang, guli, yeye dan berlusin permainan seru lainnya. Apa anak-anak sekarang sudah tidak suka main lagi ya?

Tidak jauh dariku, ada sebuah tempat yang di depannya berjubel sepeda motor terparkir. Tiba-tiba dua bocah laki-laki berpakaian putih merah keluar dari sana. Kucoba mengintai tempat itu dari jauh. Ternyata masih banyak bocah lainnya di dalam, membuatku mengeluarkan vokal "O" panjang. "Begitu ya.." simpulku dalam hati sambil membaca plang nama tempat itu : Master Game Online. Seketika pikiranku pun melayang ke 15 tahun yang lalu.

***

"Roda rodi..."
"Belum!!"
"Wii dah.. Yang lamaan klen. Udah ya, bawang putih bawang merah sapa kena jangan marah.."

Seorang anak perempuan membuka mata dan berbalik membelakangi dinding yang telah disepakati bersama teman-temannya sebagai markas jaga. Melepas pandang ke sekitar, ditujukan ke beberapa titik yang diduga menjadi tempat persembunyian teman-temannya. Ada satu yang mencurigakan, tanaman pagar yang berjarak 10 meter dari tempatnya terus bergerak, seperti ada yang sedang berkasak-kusuk di baliknya. Sejenak ia memeriksa kembali sekeliling, memastikan markas jaganya aman, dan ia pun melangkah dengan berjingkat menuju titik yang mencurigakan tersebut.

"Sssstt.. Sana sikit napa, nampak Kak Maya tanganku nanti.."

"Wih, enak kali kau, kan aku dulu yang disini. Kalo aku geser akulah yang nampak. Tak mau aku jaga.. Capek"

"Geser sikit aja pun.. Yang parahan"

"Eh, marepet pulak kau samaku. Kan aku luan disini. Kaulah sana sikit.."

Terdengar suara gaduh milik dua bocah yang sedang bersembunyi di balik pagar. Tentu saja sangat mudah dikenali, karena kedua bocah tersebut sudah menjadi teman Maya sejak lahir.

"Wulan! Novi!" teriak Maya sambil berlari kencang menuju markas jaganya. Kedua pemilik nama pun spontan melompat dan berlari menuju tempat yang sama, namun terlambat. Maya sudah duluan sampai, dengan senyum yang tertahan di sudut bibir, satu tangan di pinggang dan satunya lagi bersiap menepuk dinding.

"Wulan, Novi.. Roda! Roda!" teriaknya sambil menepuk dinding dua kali.

"Kan apa kubilang, gara-gara kau lah kita ketahuan" seru Wulan.

"Kaunya bandal. Kan kubilang geser sikit aja pun tak mau.. Kapok lah kau jaga" bantah Novi tidak mau kalah.

"Wih, enak aja.. Sut lah kita dulu." protes Wulan.

"Kan namamu dulu yang dibilangnya. Kau lah yang jaga.." bantah Novi lagi.

"Udah.. Biar adil sut aja lah klen. Biar gak ada yang merasa terimigrasi.. Eh, termodifikasi.." Maya mencoba menengahi kedua sahabatnya.

"Kakak lagi masamburetan udah cakapnya. Terdiskriminasi kan maksudnya?" Novi mencoba meluruskan kata-kata Maya, saat tiba-tiba segerombolan anak datang bergabung dengan mereka.

"Woy, maen Sambar Elang yok! Sapa mau ikut? Ompiyang dulu tapi..." seru bocah laki-laki yang masih berpakaian putih merah, sepertinya belum sempat mengganti bajunya sepulang sekolah.

"Ayoklah Nis.. Tapi batasnya lapangan ini aja ya, jangan lewat. Jangan ada yang cilat ya.. Kalo maen cilat besok-besok tak usah diajak lagi." seru Tian, anak laki-laki yang paling jangkung di antara mereka.

"Tapi bentar aja ya, sampe jam 3 aja ya woy. Kena marah lagi kita nanti, semalam gara-gara maen Patok Lele terlambat kita sekolah Arab. Dilibas mamakku nanti aku.." seru Novi.

"Ya udah. Ayok.. Ompiyang.."
"Ompiyang.."
"Haha... si Anis jaga!" teriak Tian sambil mengarahkan telunjuknya ke bocah laki-laki yang masih berseragam putih merah tadi.

Sambil menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal Anis bersiap-siap mengambil tempat, melepaskan sandalnya sambil mengedarkan pandangnya mencari mangsa terdekat. Saat target yang dimaksud terbidik, ia langsung bersiap-siap berlari saat tiba-tiba tangan seseorang mendarat dan menjewer telinganya.

"Anis!! Koq belum ganti baju? Besok sekolah pake baju apa?? Pulang sana! Bentar lagi jam 3, sekolah Arab. Nanti Papa marah lagi..." seru seorang ibu yang tidak lain adalah ibunda Anis.

"I... iya Ma.. Duh.... iya Anis pulang" jawab Anis sambil meringis kesakitan.

"Wulaaaan.... Pulang!! Maen aja kerjanya, adiknya gak dijaga. Tengok ini, adiknya jatuh dari ayunan.." dari jauh nampak seorang kakek memanggil Wulan sambil mengernyitkan keningnya.

"Yaaah... pada disuruh pulang. Ya udah la woy, hari minggu pagi aja lah kita main ya.. Habis subuh kita maraton ke pemancar rame-rame. Udah sore, kita berangkat sekolah Arab bareng nanti ya.." Tian berusaha mengambil alih teman-temannya yang kecewa karena tidak jadi main.

"Iya...." jawab teman-temannya kompak sambil membubarkan barisan tanpa penghormatan.

***

"Kasihan anak-anak sekarang,ruang dan waktu bermain mereka semakin terbatas. Sangat meresahkan sebenarnya ketika mereka dibiarkan dan tidak didampingi dalam memilih alternatif bermain. Bisa-bisa mereka menjelma menjadi generasi berpaham individualistis apatis di masa depan. Hmm.." gumamku dalam hati.

Selasa, 07 Mei 2013

Ikatan Magis


Lagi-lagi kau bertanya padaku, apa yang membuatku jatuh cinta padamu. Dan aku jawab dengan diam sambil tertegun menatapmu.

***

Sejak hari itu aku terikat denganmu. Sebuah ikatan magis yang aneh dan tidak bisa dijelaskan dengan logika manusia. Dengan didahului oleh berbagai pertimbangan dan kesadaran, aku pun setuju untuk memindahkan letak syurga yang semula ada di bawah kaki ibuku, menjadi di bawah kakimu. 

Sejak pertama kali aku mencium tanganmu yang basah oleh keringat pada waktu itu, sejak hari dimana aku meletakkan tanganmu pada ubun-ubunku dan memintamu mendo'akanku atasnya, sejak hari pertama kali engkau menjadi imam sholatku, aku pun bersiap untuk menjadikanmu satu-satunya lelaki yang ada dalam hatiku. Aku juga telah bertekad untuk mengikuti dan membersamaimu sejak hari itu hingga ke penghujung waktu. Aku pun telah bersedia menerima masa lalumu, kelebihanmu, kekuranganmu, dan segalanya tentangmu.

Mulanya aku juga bingung, bagaimana cara mencintaimu. Hingga aku memohon bantuan kepada Rabb-ku untuk menunjukkan caranya.

Aku ingat betapa kikuknya diriku saat pertama kali berada di belakangmu, dengan sepeda motor kita membawa misi pertama mengantarkan makan malam untuk mertuaku alias orang tuamu, orang tua kita. Kau menyuruhku untuk berpegangan, namun aku sungguh masih malu dan canggung saat itu, lalu kau menarik tanganku dan melingkarkannya di pinggangmu. "Duh..  semoga tidak ada yang melihat...", seruku dalam hati sambil menyembunyikan wajah di belakang badanmu.

Saat aku diboyong untuk diperkenalkan ke keluarga besarmu, aku sungguh khawatir akan kesulitan beradaptasi. Namun kau selalu ada di sampingku, tidak pernah meninggalkanku, bahkan untuk ke kamar mandi pun engkau selalu setia mengantar dan menungguku di depan pintu. Aku pikir hal seperti itu hanya ada di awal-awal masa pengantin kita, ternyata aku salah. Sampai sekarang pun masih begitu. Saat menumpang wudhu di rumah orang, atau saat aku berwudhu di kamar mandi masjid, aku selalu mendapatimu menungguku di depan pintunya.

Kulewati hari-hari yang berbeda kini, semuanya selalu bersamamu. Suatu pagi di hari minggu pekan pertama masa pengantin kita, dengan bersusah payah kau mengajakku untuk berolah raga, jalan kaki. Layaknya pengantin baru, tangan kirimu menggenggam tangan kananku erat. Aku kira yang seperti itu hanya akan berlaku untuk bulan-bulan pertama, ternyata aku salah. Hingga sekarang kau selalu mendahulukan keamananku, tidak pernah membiarkanku berjalan di sebelah kananmu.

Aku ingat saat bepergian pertama kali dengan kereta api, kau menawarkan bahumu untuk menjadi sandaran tidurku, menjadikan badanmu sebagai penghangat dan melindungiku dari dinginnya udara kabin yang ber-AC. Sejak itu aku tahu bahwa bahumu adalah tempat yang paling nyaman bagiku untuk bersandar.

Saat kondisi dan suhu tubuhku tidak seperti biasa, kau begitu peka menyadarinya. Sebenarnya aku merasa bersalah sudah membuat waktu istirahatmu terganggu. Dan dari berbagai gejala yang kutunjukkan, kau pun mencurigaiku hamil. Untuk memastikannya kau memintaku untuk membeli alat tes kehamilan dan segera mengantarkanku ke apotek. Saat keesokan subuhnya, aku membawa alat tes itu dan menunjukkan hasilnya yang bergaris dua kepadamu. Kau pun tersenyum dan berkomentar, "Apa Mas bilang, bener kan hamil. Alhamdulillah ya, kita tidak perlu menunggu lama."

Pada suatu hari di minggu pertama kehamilan, aku seorang diri di rumah saat badanku panas dan batuk berdahak membuat nafasku sesak. Sebenarnya aku ingin memintamu pulang, tapi di sisi lain aku tidak ingin mengganggu pekerjaanmu. Entah mengapa rasa ingin segera bertemu denganmu membuat air mataku meleleh. Jadilah aku melampiaskan rasa sakit dan tidak nyaman, semuanya itu dengan menangis seorang diri. Hingga saat kau pulang, dan tanganmu menyentuh keningku, rasa sakit itu hilang entah kemana. Kau menawariku untuk minum bermacam-macam obat. Dalam hati aku berkata, "Aku tidak butuh obat, aku butuh kamu Mas."

Tanpa kusadari, setiap harinya kau telah menyemaikan benih cinta dalam hatiku. Kian hari rasa itu kian tumbuh subur dan mengakar. Walaupun kau tidak seromantis dan semahir Andre OVJ saat menggombalku, aku sungguh bersyukur atas segala cinta dan kasih sayangmu yang kian besar kurasakan. 

Namun saat kau diminta pulang kampung untuk membantu Bapak menanam benih sawit, dan kondisi badanku yang kurang fit tidak mengizinkanku untuk ikut pulang bersamamu, sejak paginya aku telah menahan rasa sedihku. Jika boleh aku berkata, aku tidak ingin berpisah sedetik pun darimu. Tapi aku tidak boleh egois, bukan? Selain punya kewajiban terhadapku, kau juga masih berkewajiban untuk tetap berbakti kepada orang tua. 

Sebelum pergi kau memakaikan sebuah jam tangan hitam di tanganku, jam tangan yang cantik.

"Jam siapa ini, Mas?" tanyaku.

"Gak tau, koq ada di tas Mas. Udah lah untuk adek aja." jawabnya.

"Ah, gak mau lah. Kan gak tau ini punya siapa..." protesku padanya sambil melepaskan jam itu dan mengembalikan padanya.

"He he.. Gak koq, itu jam tangan adek. Mas yang beli. Udah lama sih belinya, tapi nunggu momen yang tepat, tapi gak ketemu-ketemu momennya. Ya udahlah, sekarang aja ngasinya..." jawabnya sambil memasangkannya kembali di pergelangan tanganku. Aku bingung, harus bilang apa. Seharusnya setelah diberi sesuatu seyogyanya kita mengucapkan terima kasih, bukan? Namun secara spontan aku memeluknya lama dalam diam, sebenarnya menyembunyikan rasa sedihku karena sebentar lagi akan ditinggal untuk beberapa hari.

Saat kau pamit, dengan sekuat tenaga aku menahan air mata agar tidak jatuh di depanmu. Karena aku malu, pasti kau akan mengejekku dengan sebutan cengeng. Maka setelah kau pergi, air mata itu kian meluber, merembes ke pelupuk mataku. Segera kuhapus, karena aku malu jika terlihat oleh mamak. Aku pun bergegas masuk ke kamar.

Terserah jika kau mengejekku cengeng atau apapun itu. Begitulah kenyataannya, entah kenapa aku merasa tidak kuat berpisah denganmu. Semua yang kulihat di sekelilingku ada bayangmu. Saat sholat, air mata kian deras menerobos kelopak mataku, aku menyesali segala ketidaksempurnaanku selama menjadi istrimu. Iseng aku keluar kamar ikut menonton OVJ, acara yang biasa kita tonton bersama, bukannya tertawa mendengar lelucon mereka, tapi mataku malah berkaca-kaca karena terbayang tawamu. Aku memutuskan untuk kembali ke kamar. Sekuat tenaga aku menahan perasaan yang kian bergejolak dalam hatiku. Saat kau menelepon, aku berusaha menahan kerinduanku yang kian menyesak di dada dan berbicara seperti biasa. Namun lama kelamaan rasa itu kian tak terbendung, dan air pun kembali menggenangi mata, menetes di pipiku. 

Kau disana mungkin heran dengan reaksiku, namun sejujurnya aku juga bingung, ada apa dengan diriku. Aku menebak jawabannya, karena kau telah mengikat hatiku dengan ikatan magis : ikatan cinta dan pernikahan karena Allah.

Dan jika kau masih bertanya padaku, apa yang membuatku jatuh cinta padamu, masih perlukah aku menjawabnya?


Senin, 06 Mei 2013

Jantung Kecil

Pohon kelapa dan pohon-pohon lainnya kompak mengibarkan pelepah dan dedaunannya malam itu, menyuarakan peringatan kepada manusia bahwa sebentar lagi akan turun hujan.

"Tapi sudah terlanjur mendaftar, Mas...", jawabku pada suamiku yang urung beranjak dari tempatnya dan ingin membatalkan rencana kami memeriksakan kandunganku malam itu, padahal ialah yang bersikeras mendaftarkanku ke klinik saat siang tadi. Aku bersikeras berangkat, tanpa mempedulikan kekhawatirannya akan cuaca yang mendung berat di luar sana. Akhirnya ia luluh, dan kami berangkat.

"Silakan menunggu sebentar ya Bu, dokternya lagi kuret, setelah itu makan malam. Duduk dulu ya Bu...", sambil berpandangan kami pun menghela nafas, dan aku langsung mengikuti suamiku yang beranjak keluar klinik.

"Kira-kira masih satu jam lagi, kita jalan-jalan dulu ya...", sebuah tawaran yang tidak pantas untuk ditolak, dan akupun langsung duduk dengan manis memboncengnya.

Baru berjalan lima menit saat tanpa aba-aba langit mencurahkan air hujan yang begitu deras, membuat kami kebingungan mencari tempat berteduh. Akhirnya suamiku berbelok ke sebuah bangunan berkanopi, bercat merah dengan logo banteng bermoncong putih. Aku pun turun dari tunggangan dan berputar melihat keadaan gedung, ketika tanpa disadari genangan air hujan menuju tempatku berdiri. "Dek, naik! Basah nanti kakinya." perintah suamiku. Aku terperanjat dan langsung naik ke atas tungganganku kembali. Sambil memperhatikan derasnya air, aku memanjatkan berbagai do'a kepada sang pemilik hujan.

Setelah setengah jam, hujan masih belum puas membasahi bumi. "Sudah agak mendingan, tinggal gerimis. Dek, pakai mantelnya ya!" seru suamiku sambil menyodorkan mantel hujan yang hanya cukup untuk satu orang itu padaku. Awalnya aku menolak, karena seharusnya ia yang memakai mantel itu. Biasanya suamiku rentan terhadap air hujan, aku khawatir ia terserang flu. Namun ia memaksa, memakaikan mantel itu padaku.

Sesampai di klinik, tanpa menunggu lama akhirnya namaku pun dipanggil oleh perawat yang bertugas. Kami bergegas masuk ke dalam ruangan. Setelah bertegur sapa dengan dokter, aku langsung diminta untuk menimbang berat badanku. 54 kg. "Nambah satu kilo pun jadi lah..." komentar dokter. Lalu perawat mengarahkanku untuk bersiap menjalani pemeriksaan USG. Ia mengoleskan sejenis jel ke perutku, lalu dokter mengarahkan sejenis alat optik dan mengobservasi kandunganku. Mata dokter lekat memandang monitor kecil di depannya, "Wah bayinya sudah kelihatan, ini jantungnya, kepalanya, punggungnya, tangannya, kakinya. Sudah lengkap ya Bu. Tiga bulan"

Kulihat jantung kecil itu berdegup, jantung anakku. Kulirik suamiku yang juga sedang serius memperhatikan gambar bergerak dalam monitor, ia pun melempar senyum padaku. Dari pandangannya kutangkap sebuah pesan, "Alhamdulillah, anak kita sehat". Masih kuingat jelas saat tadi siang suamiku berkata sambil mengusap perutku, "Ayah ingin melihat kamu, Nak. Sehat-sehat aja kan di dalam...". Sesaat kemudian dokter mencetak sejenis foto hitam putih. Memasukkannya ke amplop dan memberikannya pada kami.

Gerimis mulai mereda, tinggal satu dua titisan air yang masih bersikeras menjatuhkan diri dari langit. Kami pun pulang dengan senyum dan rasa lega. Dari belakang aku memeluk punggung suamiku erat, sebenarnya sebuah pesan nonverbal yang mengatakan bahwa aku semakin mencintainya.

"Anakku sayang, semoga Allah melindungimu, menyempurnakanmu, menjadikanmu anak yang sholeh/ah, menjadi inspirasi kebaikan kepada kami berdua dan orang-orang yang ada di sekitarmu kelak. Aaamin"

Inuyasha